Dejurnal.com, Bandung – Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dede Yusup menyatakan, masyarakat Indonesia cenderung lebih suka menonton daripada membaca buku. Buktinya angka literasi di Indonesia tidak lebih baik dari nonton informasi yang ditayangkan. Hal ini dikatakan Dede Yusuf saat mengunjungi Perpustakaan Kabupaten Bandung, Rabu (21/10).
Oleh karenanya angka membaca menjadi perhatian Komisi X DPR RI, karena salah satu indikator pendidikan di dunia adalah literasi.
“Di Indonesia ini angka literasi membaca memang tidak terlalu tinggi, tapi angka menonton kita tinggi. Jadi orang Indonesia lebih suka menonton ketimbang membaca,” katanya.
Di samping itu, Dede menyebut angka kelulusan di Indonesia paling banyak didominasi lulusan SD dan SMP dengan 60%. Artinya, tingkat membaca buku masih rendah, sebab jika semakin tinggi jenjang pendidikan maka tingkat literasi semakin baik.
“Angka pendidikan kita ternyata 60% masih berorientasi pada tingkat SD, SMP. Artinya tingkat kelulusan, SMA/SMK hanya sekitar 20%; D3, D4, Sarjana itu hanya sekitar 8-10%. Karena kalau semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin banyak membaca,” ujarnya.
Menurutnya Dede Yusuf, ada tiga faktor yang membuat tingkat membaca di Indonesia rendah. Di antaranya, harga buku yang mahal, akses informasi yang sulit, hingga buku yang tidak berinovasi.
“Ini menunjukan bahwa minat baca kita masih kurang, bisa karena buku masih mahal, akses informasi sulit, ketiga tidak ada terobosan mencetak buku yang membuat orang menjadi ingin membaca,” jelasnya.
Sementara, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakan (Disarpus) Kabupaten Bandung, Tri Heru Setiati saat di sela menerima kunjungan Komisi X DPR RI tersebut menyampaikan ajakan kepada masyarakat untuk mengunjungi Perpustakaan Kabupaten Bandung.
“Berkunjunglah ke Perpus Kabupaten Bandung. Dengan segala kegiatan dan fasilitas dibalik kekurangannya akan kita penuhi untuk meningkatkan minat baca atau peningkatan SDM. Literasi sangat penting dan perpustakaan tempat yang cocok untuk pengetahuan,” kata Tri.
Kalau tidak ada pandemi, tutur Tri selain banyak buku yang bisa dibaca ada banyak juga kegiatan yang bisa dilakukab seperti kursus, literasi sains, membaca dan bercerita dan kegiatan lainnya.
Kaitan dengan animo masyarakat, Tri bersyukur secara riil tidak berkurang, hanya sedikit berkurang karena dibatasi protokol kesehatan. “Tapi animo terlihat dengan kegiatan lomba presentasi buku. Itu bukunya dari ebook sabilulungan. Dengan segala kreativitasnya dan sangat bagus. Walaupun pandemi, melalui daring bisa dilakukan kegiatan peningkatan keterampilan maupun kebahagiaan untuk berliterasi,” jelasnya.
Perpustakaan di masa pandemi, kata Tri dilakukan secara terbuka tertutup. “Kita lakukan secara terbuka tertutup, maksudnya kalau ada anggota yang membutuhkan buku sesuai dengan aplikasi dan kita siapkan dan ambil. Buku bisa dipinjam meski terbatas. Kalau di plaza kita membuka melalui buku perpus keliling dengan protokol kesehatan yang ketat. Di plaza perpus, di taman Upakarti, Taman Perpustakaan, dan di Taman Uncal kita siapkan,” katanya.
Di Perpustakaan Kabupaten Bandung ada 25 ribu eksemplar, 11 ribu judul buku. Sedangkan di ebook ada 2500 buku.
Menurut Tri, idealnya ada 50 ribu buku. Untuk memenuhi buku tersebut dari pengadaan setiap tahun, ada dari pusat dan dari penerbit.
Untuk meningkatkan minat baca, kata Tri setiap tahun ada festival literasi. Festival ini juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk wakaf buku. “Mungkin tahun ini saja yang belum ada,” pungkas Tri.*** Sopandi