DeJurnal, Ciamis,- Penanganan dugaan korupsi dalam penyaluran pupuk bersubsidi periode 2021–2024 oleh Kejaksaan Negeri Tasikmalaya kembali menuai sorotan.
Setelah menetapkan tiga orang tersangka berinisial EN, ES, dan AH, pihak kejaksaan diduga tidak transparan dan disinyalir mengaitkan kasus tersebut dengan perkara lama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Hal ini diungkapkan Junaedi Yahya, S.H., M.H., kuasa hukum tersangka EN, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, kasus yang saat ini sedang diusut Kejaksaan Tasikmalaya memiliki kemiripan dengan perkara pengoplosan pupuk bersubsidi di Kota Banjar tahun 2023, yang telah diputus oleh pengadilan dan ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.
“Benar, dulu memang ada kasus pengoplosan pupuk bersubsidi di Banjar tahun 2023. Namun, perkara itu sudah selesai, sudah inkracht, dan para pelakunya telah menjalani hukumannya sesuai Putusan Nomor 56/Pid.Sus/2023/PN/Bjr,” ungkap Junaedi.
Junaedi pun menilai, langkah Kejaksaan Tasikmalaya yang kembali mengusut perkara dengan substansi serupa berpotensi melanggar asas nebis in idem seseorang tidak boleh diadili dua kali atas kasus yang sama.
“Klien saya sudah diadili dan diputus oleh pengadilan. Sekarang perkara yang sama diusut lagi. Ini bentuk abuse of power dan melanggar kepastian hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Junaedi menyoroti pemberitaan yang menyebut Kejaksaan menyita 7.800 ton pupuk bersubsidi. Menurutnya, klaim tersebut tidak masuk akal dan tidak sesuai fakta di lapangan.
“Itu berita bohong. Tidak ada satu kilogram pun pupuk yang disita. Kapasitas gudang penyangga kabupaten saja maksimal hanya sekitar 4.000 ton,” jelasnya.
Ia menambahkan, hingga kini Kejaksaan tidak dapat menunjukkan bukti fisik pupuk yang disebut-sebut telah disita.
“Kalau benar ada penyitaan sebanyak itu, disimpan di mana barangnya? Silakan cek langsung ke Kejaksaan. Sampai hari ini, tidak ada bukti satu kilogram pun,” tegasnya
Selain masalah transparansi, kuasa hukum juga mempersoalkan proses penyitaan barang bukti berupa satu unit truk tronton.
Junaedi mengatakan surat penyitaan tertanggal 3 Juli 2025 atas nama Rahmat Hidayat, S.H., M.H., tidak ditandatangani oleh pejabat berwenang.
“Surat penyitaan itu tidak ditandatangani oleh Kasi Pidsus. Ini cacat hukum dan menyalahi prosedur,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan relevansi barang bukti tersebut dengan kasus yang disebut terjadi di Kecamatan Ciawi, yang menurutnya tidak memiliki hubungan langsung.
“Kasus yang diusut apa, barang buktinya apa — masyarakat bisa menilai sendiri. Kalau memang ada barang bukti, seharusnya dilakukan OTT waktu itu juga,” tambahnya.
Junaedi juga membantah tudingan bahwa kliennya, EN, adalah pemilik atau pengendali CV MMS sejak tahun 2021. Ia menegaskan, EN baru mengambil alih perusahaan itu pada Agustus 2024 dari pemilik lama berinisial YD, warga Jakarta.
“Klien saya membeli CV MMS pada Agustus 2024. Saya punya akta perusahaan resminya,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, tidak logis jika EN dijadikan tersangka untuk periode 2021–2023, saat perusahaan masih dimiliki pihak lain.
“Kalau memang ada penyimpangan pada tahun-tahun itu, tentu tanggung jawabnya ada pada pemilik lama, bukan EN,” ucapnya.
Junaedi mendesak agar Kejaksaan Tasikmalaya menjalankan proses hukum secara profesional, proporsional, dan menghormati prinsip transparansi.
“Penegakan hukum harus berdasarkan fakta, bukan asumsi. Jangan sampai hukum dijadikan alat kekuasaan. Ini bisa mencederai rasa keadilan masyarakat,” pungkasnya. (Nay Sunarti)