Dejurnal.com , Garut – Rabu, 16 Juli 2025 menjadi hari penuh harapan bagi Muhammad Rizki, seorang remaja dari keluarga prasejahtera di Kampung Bentar Hilir, Kelurahan Sukamenteri, Kecamatan Garut Kota. Didampingi oleh sejumlah tokoh dan pejabat daerah, langkahnya untuk kembali mengenyam pendidikan menengah di SMK Muhammadiyah Garut menjadi simbol nyata dari semangat gotong royong dalam memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan.
Anggota DPRD Kabupaten Garut dari Fraksi PDI Perjuangan, Yudha Puja Turnawan, bersama Ibu Diah Kurniasari selaku Sekretaris Komisi IV DPRD Garut, turut serta mengantarkan Rizki mendaftar ke SMK Muhammadiyah. Turut hadir Camat Garut Kota Rena Sudrajat dan Lurah Sukamenteri Wiyiyono yang menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap masa depan generasi muda di wilayah mereka.
Meski pendaftaran siswa baru secara resmi telah ditutup, pihak SMK Muhammadiyah menunjukkan kelapangan hati dengan menerima Rizki sebagai siswa baru. Bantuan demi bantuan pun mengalir. Ibu Diah Kurniasari menyediakan Dana Sumbangan Pendidikan, sementara Yudha Puja Turnawan menanggung kebutuhan seragam sekolah Rizki. Komitmen Ibu Diah pun berlanjut dengan kesediaannya untuk menanggung biaya SPP Rizki selama masa pendidikan. Tidak ketinggalan, Camat Garut Kota Rena Sudrajat memberikan sepasang sepatu sekolah, melengkapi semangat kebersamaan dalam membantu Rizki.
Keputusan Rizki untuk kembali ke bangku sekolah bukan tanpa latar belakang. Sebelumnya, ia sempat mengundurkan diri dari SMKN 2 Garut pada 16 Mei 2025 setelah menyelesaikan dua semester karena himpitan ekonomi. Ia tinggal bersama orang tuanya yang tidak memiliki rumah sendiri dan harus mengontrak rumah kecil. Ayahnya hanya bekerja sebagai pemulung, sementara adiknya, Muhammad Revan, merupakan penyandang disabilitas yang juga memerlukan perhatian dan uluran tangan masyarakat.
Kisah Rizki hanyalah satu dari ribuan cerita senyap tentang anak-anak Garut yang berada di persimpangan antara harapan dan kenyataan. Data Dinas Pendidikan menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang SMA/SMK di Kabupaten Garut hanya mencapai 60,04%. Artinya, hampir 40% anak usia 16–18 tahun tidak melanjutkan pendidikan menengah. Ini menjadi sinyal darurat yang menuntut perhatian serius dan langkah konkret dari seluruh pemangku kepentingan.
Berbagai faktor menjadi penyebab rendahnya APM. Daya tampung sekolah yang terbatas menjadi salah satu penyebab utama. Saat ini, SMA dan SMK negeri di Garut hanya mampu menampung sekitar 33 ribu siswa baru, ditambah 7 ribu dari sekolah swasta, sementara lulusan SMP setiap tahunnya mencapai 52 ribu. Sekitar 12 ribu siswa lulusan SMP terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan.
Faktor lainnya adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Biaya Dana Sumbangan Pendidikan yang tinggi sering kali menjadi beban berat bagi orang tua siswa, terutama dari kalangan tidak mampu. Ini diperparah dengan minimnya pelaporan terbuka mengenai Rencana Pendapatan dan Belanja Sekolah (RPBS), yang seharusnya menjadi hak publik untuk mengetahui.
Melihat kondisi ini, Yudha Puja Turnawan mengungkapkan harapannya agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera menambah jumlah sekolah menengah atas negeri di Kabupaten Garut. Selain itu, ia mendorong optimalisasi fasilitas sekolah yang ada agar biaya pendidikan bisa ditekan. Peran Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan di Jawa Barat juga dinilai sangat strategis dalam membantu meningkatkan sarana dan prasarana sekolah. Dengan begitu, pihak sekolah dan komite tidak lagi membebani orang tua siswa dengan sumbangan dana yang tinggi.
Yudha juga menegaskan pentingnya membangun sistem pendidikan yang inklusif dan adil. Menurutnya, tidak boleh ada anak di Garut yang terpaksa berhenti sekolah hanya karena masalah ekonomi. Pendidikan adalah hak dasar, dan tanggung jawab kita bersama untuk memastikannya dapat diakses oleh semua anak, tanpa terkecuali.
Mari kita jadikan cerita Muhammad Rizki sebagai pemantik semangat kolektif untuk terus menjaga asa anak-anak Garut. Setiap langkah kecil dalam membantu mereka kembali ke sekolah adalah investasi besar untuk masa depan daerah ini. Pendidikan bukan hanya soal angka dan statistik, tetapi tentang membuka jalan bagi generasi penerus agar mereka bisa bermimpi, tumbuh, dan menjadi agen perubahan.**Willy