Dejurnal.com , Garut — Di tengah semilir angin pagi di Pendopo Kabupaten Garut, ratusan wajah penuh semangat berkumpul dalam satu tujuan mulia merayakan keberagaman dan memperjuangkan kesetaraan. Di bawah kepemimpinan Ibu Irma Ridyawati, Ketua Portadin (Perkumpulan Orang Tua Anak dengan Disabilitas Indonesia) Kabupaten Garut, Selasa (5/8/2025).
Digelarlah kegiatan bertajuk “Hari Ceria Keluarga Istimewa”, sebuah perayaan penuh makna yang mengangkat tema: “Merancang Masa Depan Anak Istimewa dan Transportasi Pendidikan Inklusif untuk Kemandirian Remaja Disabilitas.”
Namun ini bukan sekadar acara seremonial ini adalah seruan perubahan. Seruan bahwa anak-anak disabilitas adalah bagian dari masa depan bangsa yang tak boleh diabaikan.
Dalam sambutannya, Ibu Irma Ridyawati menegaskan bahwa Portadin bukan hanya tempat bernaungnya para orang tua anak berkebutuhan khusus, melainkan juga garda terdepan yang memperjuangkan hak-hak anak disabilitas di Garut. Salah satu isu krusial yang diangkat adalah kebutuhan transportasi inklusif agar anak-anak dapat mengakses pendidikan dengan aman dan bermartabat.
“Kami ingin mereka bukan hanya hadir di sekolah, tapi hadir sebagai pribadi utuh yang dihargai,” ujar Ibu Irma dengan suara yang tegas namun penuh kasih
Acara ini juga dirangkaikan dengan seminar edukatif yang menyasar dua pilar utama dalam ekosistem anak disabilitas: keluarga dan sekolah. Dengan mengupas topik seperti pemahaman tentang ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), peran orang tua dalam menumbuhkan kemandirian, serta strategi pembelajaran inklusif, seminar ini menjadi ruang belajar bersama bagi orang tua dan guru.
Salah satu tujuan utama dari kegiatan ini adalah membangun kesadaran: bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar soal menerima, tapi juga memahami, mengadaptasi, dan mencintai perbedaan.
Yang membuat acara ini begitu istimewa adalah kehadiran para relawan muda dari kalangan mahasiswa. Mereka hadir tidak sekadar membantu teknis, tapi menyatu dalam kebersamaan mendampingi anak-anak, menebar senyum, dan membuktikan bahwa empati bisa diajarkan, bahkan sejak di bangku kuliah.
“Kami belajar langsung dari anak-anak ini tentang arti semangat hidup,” ungkap salah satu relawan mahasiswa UNIGA dengan mata berkaca.
Dari seminar serius, suasana bergeser menjadi riang ketika berbagai permainan tradisional digelar. Egrang, tarik tambang, balap bakiak semua menjadi ajang tawa, kegembiraan, dan keberanian. Anak-anak istimewa, yang sering kali dipinggirkan, hari itu menjadi pusat perhatian, menjadi bintang dalam panggung mereka sendiri.
Ini bukan sekadar bermain. Ini adalah bentuk terapi sosial, sarana ekspresi, dan ajang pembuktian bahwa mereka mampu dengan caranya sendiri.
Lebih dari sebuah perayaan, “Hari Ceria Keluarga Istimewa” menjadi titik awal dari gerakan jangka panjang: menuju Garut yang ramah disabilitas, dari sisi pendidikan, transportasi, hingga kesadaran sosial. Portadin menegaskan komitmennya untuk terus mendorong perubahan kebijakan, membuka ruang diskusi, dan menjalin kolaborasi lintas sektor.
“Kita tidak bisa berjalan sendiri. Tapi jika bersama, kita bisa menciptakan dunia yang lebih adil untuk semua anak,” tutup Ibu Irma dalam pesannya yang menyentuh.
Acara ini menjadi penanda bahwa inklusi bukan utopia. Ia bisa diraih jika ada niat, aksi, dan cinta. Anak-anak istimewa tidak membutuhkan belas kasihan mereka membutuhkan kesempatan. Portadin Garut telah memulai langkah itu, dan kini giliran masyarakat, pemerintah, dan dunia pendidikan untuk menyambut mereka dengan tangan terbuka.
Karena setiap anak berhak bermimpi. Dan tugas kita bersama adalah memastikan mereka punya jalan untuk mewujudkannya.**Willy