Dejurnal, Ciamis,- Polemik mengenai legalitas izin operasional Klinik Pratama Rawat Inap Syaibah di Kabupaten Pangandaran memasuki babak krusial di Pengadilan Negeri Ciamis.
Gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan dr. Erwin pemilik klinik melalui kuasa hukumnya, Didik Puguh Indarto, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 76/SK/2025 tanggal 30 April 2025.
Dalam berkas gugatan, dr. Erwin menyebut sejumlah pihak sebagai tergugat, sebanyak 9 orang mulai dari warga hingga pejabat instansi pemerintah Kabupaten Pangandaran.
Kasus berawal dari laporan HDS yang menerima laporan warga bahwa dr. Erwin membuka praktik kedokteran tanpa izin di Klinik Syaibah, Padaherang. Laporan itu diteruskan ke Satpol PP Pangandaran, yang kemudian menerbitkan Surat Perintah Penyidikan pada 27 Maret 2025. Penyidik yang ditunjuk adalah RNR Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP.
Pada 11 April 2025, digelar rapat klarifikasi yang dihadiri berbagai pihak. Dari rapat tersebut muncul beberapa poin kesimpulan:
-Klinik Syaibah sudah berbadan hukum Yayasan Putra Syaibah Padaherang dengan NIB 2003240134962.
-Klinik belum memiliki izin berusaha (sertifikat standar terverifikasi), PBG, dan SLF.
-Pihak klinik menyatakan siap menempuh seluruh perizinan sesuai aturan.
Meski sudah ada Berita Acara Penyelesaian Pengaduan, HDS tetap melaporkan dr. Erwin ke Polres Pangandaran dengan dugaan pelanggaran Pasal 442 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
dr. Erwin menegaskan tuduhan tersebut tidak benar. Ia mengantongi sejumlah dokumen resmi, antara lain:
-Surat Izin Praktik (SIP) Nomor 503/026.01/dr./DPMPTSP/PND/III/2024, berlaku hingga 29 Juni 2027.
-Surat Tanda Register Dokter Nomor 3211100422029435, berlaku hingga 29 Juni 2027.
-Surat Rekomendasi Nomor 800/321 PKMPDH/VI/2024 dari Dinas Kesehatan Pangandaran.
Terkait tuduhan mempekerjakan dr. TS di klinik tersebut, dr. Erwin menyatakan hal itu keliru. Menurutnya, dr. TS hanya pernah menjadi penanggung jawab manajemen klinik dan tidak melakukan praktek dokter. dr. TS juga sudah mengundurkan diri sejak Maret 2024.
Selain itu, kuasa hukum dr. Erwin menilai pemeriksaan oleh Satpol PP pada 14 April 2025 cacat prosedur karena dilakukan tanpa surat undangan resmi. Hal ini yang kemudian disebut sebagai bentuk perbuatan melawan hukum.
Akibat polemik tersebut dr. Erwin menutup praktik kedokterannya di Jl. Stasion No. 02, Desa Karangpawitan, Padaherang sejak 11 April 2025. Ia mengaku kehilangan pendapatan rata-rata Rp500 ribu per hari.
Dalam hitungan kuasa hukumnya, kerugian materiil selama 39 hari mencapai sekitar Rp19,5 juta. Selain itu, ia merasa nama baik dan reputasinya sebagai dokter ikut tercemar di mata masyarakat.
Pada Kamis (25/9/2025), persidangan Gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan dr. Erwin kepada 9 tergugat kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi.
Sidang menghadirkan AT yang memberikan keterangan mengejutkan, sebagai saksi mengungkap fakta bahwa penyidik Satpol PP Pangandaran RNR yang memproses kasus klinik, ternyata berstatus tersangka dalam kasus penipuan dan/atau penggelapan dengan nilai Rp35 juta.
AT merupakan pelapor dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/101/VI/2024/SPKT/Polres Pangandaran/Polda Jawa Barat tertanggal 3 Juni 2024. Dalam kasus tersebut, penyidik Satpol PP RNR telah ditetapkan sebagai tersangka melalui Surat Ketetapan Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/40/VII/RES.1.11/2024/Satreskrim, tanggal 12 Juli 2024.
Fakta tersebut membuat persidangan semakin kompleks. Pasalnya, legalitas sebuah klinik sedang dipersoalkan melalui proses penyidikan yang justru dilakukan oleh seorang aparatur penegak perda yang berstatus tersangka pidana.
Dalam sidang, AT menegaskan bahwa dirinya adalah korban penipuan yang dilakukan RNR. Kesaksiannya dinilai relevan untuk menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan dalam penanganan kasus klinik.
“Bukti-bukti penetapan tersangka terhadap saudara RNR sudah jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis dan hukum, bagaimana mungkin seorang tersangka penipuan diberi kewenangan menyidik legalitas klinik,” ujar kuasa hukum penggugat, Didik Puguh Indarto usai sidang.
Di sisi lain, kuasa hukum HDS Miptah Mujahid, menegaskan bahwa langkah kliennya, dalam menyampaikan laporan ke Satpol PP semata-mata karena kepedulian terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
“Klien saya HDS menerima laporan dari warga. Mekanisme ditempuh sesuai aturan, melalui laporan ke Satpol PP dan Dinas Kesehatan. Jadi bukan keputusan pribadi,” kata Miptah.
Kuasa hukum lainnya Ferdy, menambahkan bahwa kesaksian saksi harus sesuai dengan ketentuan hukum acara.
“Saksi fakta harus benar-benar melihat atau mengalami langsung peristiwa yang disengketakan. Kalau tidak, tentu bisa kami persoalkan,” ujarnya.
Hadirnya kesaksian AT dipandang sebagai babak baru dalam perkara tersebut. Sebab, persoalan tidak hanya menyangkut legalitas klinik, melainkan juga kredibilitas aparat penegak perda yang menangani kasus tersebut.
Majelis hakim dijadwalkan akan melanjutkan agenda pemeriksaan saksi lainnya dalam sidang mendatang. Kamis (02/10/2025) (Nay Sunarti/Jepri Tio)