Dejurnal.com, Garut – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Garut (KMG) menyatakan sikap pengesahan RUU KUHAP baru disahkan pada tanggal 18 November 2025, serta mendorong untuk segera mengesahkan regulasi yang telah lama tertunda yaitu RUU Masyarakat adat dan RUU Perampasan Aset.
Mesti diguyur hujan, para mahasiswa yang terdiri dari 6 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Kabupaten Garut tetap bertahan untuk menyampaikan pernyataan sikap dan berorasi di depan gedung DPRD Kabupaten Garut, Kamis (20/11/2025).
Massa aksi yang sebelumnya melakukan long march dari simpang lima menuju ke Gedung DPRD dan menggelar aksi orasi didepan Gedung DPRD, akhirnya masuk melakukan beraudensi di ruang Paripurna DPRD Kabupaten Garut dan diterima dengan baik oleh Anggota DPRD Garut.
Dalam penyampaian audensi damai dan dibawah penjagaan TNI – POLRI – Satpol PP, masa aksi yang menyampaikan sikap tegas hal menolak RUU KUHAP, sebagai Undang – Undang mendampingi KUHAP, di tahun 2026 mendatang, prosesnya itu terkesan buru-buru, minim teransparansi. Pasalnya RUU KUHAP, sejak pengesahan tanggal 18 November 2025, diunggah 24 jam, sehingga dipandang mustahil atas partisipasi publik dapat terwujud.
“Menurut penilaian kami, ini bukanlah suatu pembaharuan hukum, melainkan suatu kemunduran yang besar, menurut catatan kami ada sejumlah pasal yang bermasalah lolos didalam pengesahan” Ujar salah satu mahasiswa.
Para mahasiswa juga menilai beberapa pasal tersebut
1. Pasal 5, 90, dan 93
Penangkapan dan penahanan dapat dilakukan bahkan pada pada tahap penyelidikan, ketika tindak pidana belum terkonfirmasi, tanpa izin pengadilan, bahkan syarat penahanan itu sepenuhnya bergantung pada subjektivitas dari penyidik. Ini tentunya membuka pintu kesewenang-wenangan seperti yang terjadi pada Agustus 2025 ketika banyaknya orang ditangkap tanpa dasar yang jelas.
2. Pasal 23
Pengaduan masyarakat yang tidak ditanggapi penyidik hanya dapat dilaporkan secara internal keatasan penyidik, tanpa kewajiban tindak lanjut atau batas waktu yang jelas. Mekanisme ini terbukti tidak efektif untuk melindungi korban, terutama pada korban kekerasan seksual.
3. Pasal 149 – 154
Pra-peradilan tetap menggunakan model usang dengan objek yang terbatas. Bahkan upaya paksa yang sudah mendapat izin ketua pengadilan tidak dapat menjadi objek praperadilan, padahal izin tersebut bisa saja didapat melalui proses yang tidak benar. Hal ini tentunya mereduksi putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014.
4. Pasal 16
Penyidik diberi kewenangan luas untuk melakukan pembelian terselubung dan
penyerahan dibawah pengawasan untuk semua jenis tindak pidana tanpa batasan yang jelas dan tanpa pengawasan hakim dinegara yang maju, seperti Belanda tindakan semacam ini wajib berdasarkan izin pengadilan, guna mencegah penjebakan.
5. Pasal 7 dan 8
Penyidik non-polisi (PPNS) disubordinasi dibawah penyidik polisi, sehingga berkas perkara harus melalui polisi terlebih dahulu. Tentunya ini akan menghambat proses penanganan kasus-kasus khusus seperti korupsi dan kehutanan
6. Pasal 138, 191, 223,
Sidang elektronik diperbolehkan tanpa standar teknis yang memadai seperti rekaman resmi, akses publik, dan keamanan data. Hal ini mengancam asas keterbukaan peradilan dan berpotensi adanya tindak manipulasi.
7. Pasal 329 dan 330
Ketentuan peralihan yang menerapkan asas lex posterior derogat legi priori berpotensi menghilangkan aturan khusus dalam UU KPK dan UU Tipikor (lex specialis), sehingga melemahkan upaya pemberantasan korupsi. RUU KUHAP yang telah disahkan ini sama sekali tidak mengakomodasi usulan masyarakat sipil tentang judicial scrunity atau pengawasan yudisial yang ketat atas tindakan penegak hukum. Justru konsep hakim komisaris yang sempat muncul dalam draf RUU KUHAP 2012, yang dibutuhkan untuk mencegah atas kesewenang-wenangan malah dihapus.
Dengan kewenangan yang sedemikian luas tanpa mekanisme pengawasan yang memadai RUU KUHAP 2025 tidak akan menghadirkan keadilan justru sebaliknya yaitu ruang penyalahgunaan wewenang yang akan semakin terbuka, hingga rekayasa kasus akan semakin mudah terjadi.
Namun, undang-undang yang dibutuhkan masyarakat hingga kini masih tertunda, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat dan Undang-Undang Perampasan Aset, yang belum adanya kejelasan disamping itu, tanah ulayat sering kali dirampas dan untuk kepentingan korporasi, hutan adat digusur tanpa ada kompensasi yang layak, sistem hukum adat diabaikan dalam pembangunan, dan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum tidak diakui secara formal.
RUU Masyarakat Adat ini telah masuk Program Legislasi Nasional sejak 2013. yang penundaan lebih dari 12 tahun ini, membuktikan rendahnya atas komitmen negara terhadap perlindungan kelompok
rentan, padahal hak-hak masyarakat adat dijamin didalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, berbagai konvensi Internasional yang telah Indonesia ratifikasi termasuk ILO Convention No. 169.
“Akhirnya menjadi konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi ini terus meningkat setiap tahunnya, kami tidak bisa menunggu saudara-saudara kami dari masyarakat adat kehilangan hak mereka “. Jelasnya.
Serta, Undang-Undang Perampasan Aset yang masih juga tertunda, kelemahan terbesar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah ketiadaan instrumen hukum efektif merampas aset hasil tindak pidana, bahkan Koruptor bisa menjalani hukuman penjara,tetapi hartanya masih bisa dinikmati oleh keluarga dan kroni-kroninya melalui skema pengalihan yang bisa dikatakan rumit.
Hingga kini pelaku korupsi masih bisa hidup nyaman meski sudah adanya vonis, aset hasil kejahatan yang mudah untuk dialihkan atau disembunyikan, kerugian negara yang tidak dapat
dipulihkan secara optimal, dan efek jera terhadap pelaku tidak maksimal.
Akhirnya aksi unjuk rasa dan audensi ini menghasilkan beberapa hal point yang menjadi kesepakatan dan berita acara.
“Bahwa pada hari ini Kamis tanggal dua puluh bulan November tahun dua ribu dua puluh lima, kami anggota DPRD Kabupaten Garut Kabupaten Garut telah menerima audiensi dari Koalisi Mahasiswa se-Kabupaten Garut yang menyampaikan aspirasi terkait Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)”.
Adapun tuntutan audiensi didapat sebagai berikut:
1. Diadakannya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan hasil kajian dampak pengesahan KUHAP terhadap kebebasan warga dan masa depan penegakan hukum Indonesia dari Koalisi Mahasiswa Garut (terlampir).
2. Mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
3. Mendorong Rancangan Undang-Undang dan Perda Masyarakat Adat.
4. Mendorong lahirnya perda inisiatif terkait perda masyarakat adat.
Demikian berita acara dibuat untuk dijadikan bahan lebih lanjut.
Hadir dalam audensi dan sekaligus yang menerima Anggota DPRD Kabupaten Garut yaitu Luqi Sa’adillah F, SE., Anggota Komisi I selaku Ketua Fraksi PKB dan H. Imat Rohimat, S. IP., MM., Anggota dari Komisi II asal Fraksi Golkar, sementara perwakilan Koalisi Mahasiswa Garut ; Ibal Suryanto BEM ITG, Deni Wijaya Kusuma Senat STHG, Azhwar Gifari dan Rafli BEM IPI, Rizki Gunawan BEM STIE, Muhamad Ali BEM UNIGA. Massa aksi akhirnya membubarkan diri secara tertib.***Yohaness












