Dejurnal.com, Garut – Tatar Sunda terutama di Garut menyimpan banyak kisah tentang tokoh-tokoh legendaris yang mewarnai perjalanan sejarah, dua di antaranya adalah Rakeyan Sancang dan Kian Santang. Dua sosok ini berasal dari zaman yang berbeda, namun disebutkan keduanya pernah bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu anhu) dan acap kali menjadi simbol awal mula penyebaran Islam di tanah Sunda.
Nama Rakeyan Sancang memang tidak sepopuler tokoh Kian Santang anak dari Prabu Siliwangi. Nama ini muncul setelah ditemukannya data dari seorang ulama Mesir bahwa salah seorang sahabat Imam Ali adalah pangeran dari Timur Jauh (Nusantara). Data ini diambil dari manuskrip kuno yang tersimpan di Universitas Al Azhar Mesir yang diantaranya mengisahkan tentang sahabat Imam Ali, seorang pangeran yang berasal dari Timur Jauh, yang ikut perang Shiffin dan beberapa peperangan lain bersama Imam Ali.
Setelah diteliti oleh Ir H. Dudung Faithurohman, satu-satunya kisah pertemuan pangeran dari Timur jauh dengan Imam Ali adalah kisah Kian Santang yang terjadi di Jawa, dan setelah diteliti kembali pangeran Jawa yang hidupnya satu masa dengan Imam Ali dan menjadi sahabat Imam Ali, serta ikut dalam perang Shiffin tidak lain dan tiada bukan adalah Rakeyan Sancang.
Penelusuran tentang tokoh Rakeyan Sancang pun terus dilakukan, salah satunya melalui seminar daring yang pernah digelar oleh Forum Diskusi Sawala Niti Kala (SANIKALA) berjudul “Rakeyan Sancang : Titik Balik Memahami Islam di Nuswantara”.
Seminar daring ini digelar pada Selasa, 20 Juni 2023 lalu dengan mengundang pemateri meliputi Irjen. Pol (Purn). Dr. Drs. H. Anton Charliyan, M. P. K. N (Budayawan, mantan Kapolda Jawa Barat), Herman Sinung Janutama (Pemerhati Filsafat dan Kebudayaan), Rijal Assidiq Maulana, M. Pd (Dosen UIN Syekh Nurjati) dan sebagai penanggap adalah Sutan Fuad Rinaldi St Alamsyah (Ketua IKA Muda UNPAD).
Kisah Singkat Rakeyan Sancang
Keberadaan Rakeyan Sancang dijelaskan di dalam Naskah Wangsakerta dan Babad Sancang.
Rakean Sancang adalah tokoh legendaris dari Tatar Sunda yang dikisahkan sebagai putra Raja Kertawarman, raja kedelapan Kerajaan Tarumanagara (561–618 M). Rakeyan Sancang sendiri dilahirkan pada tahun 591 Masehi menurut Naskah Wangsakerta.
Kisah ini berawal dari kehidupan Prabu Kertawarman, Raja Galuh ke-8. Dikisahkan bahwa Prabu Kertawarman memiliki dua orang istri resmi, yakni istri pertama berasal dari Calankayana, dan istri kedua adalah seorang janda beranak satu dari Svarnadvipa. Dari pernikahan tersebut, Kertawarman tidak memiliki anak kandung. Oleh karena itu, ia mengangkat anak dari istri keduanya yang bernama Brajagiri sebagai anaknya sendiri. Menyadari bahwa dirinya tidak memiliki anak kandung, Kertawarman menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, yakni Sudhawarman, yang kemudian menjadi raja ke-9 Kerajaan Galuh.
Suatu hari, Prabu Kertawarman pergi ke hutan dan bertemu dengan seorang perempuan bernama Setyawati Sancang di tepi Sungai Cikaengan, pesisir pantai selatan Garut. Setyawati adalah anak seorang pencari kayu bakar bernama Ki Prangdami dengan istrinya, Nyi Sambada. Prabu Kertawarman menggauli Setyawati selama sepuluh hari sebelum meninggalkan perempuan tersebut tanpa pernah bertemu lagi. Tanpa diketahuinya, Setyawati ternyata mengandung seorang anak laki-laki yang kelak dinamai Rakeyan Sancang.
Ketika Rakeyan Sancang telah dewasa, ibunya menceritakan masa lalu dan hubungannya dengan Prabu Kertawarman. Rakeyan Sancang kemudian menemui Prabu Kertawarman di istana untuk menuntut pengakuan sebagai anaknya. Namun, Prabu Kertawarman menolak mengakui Rakeyan Sancang sebagai darah dagingnya.
Rakeyan Sancang kemudian bertapa di Hutan Sancang untuk meningkatkan kesaktiannya. Setelah itu, ia melakukan perjalanan ke Timur Tengah, tepatnya ke Mekah. Di sana, Rakeyan Sancang bertemu dengan Sayyidina Ali r.a. Ia berguru kepada Sayyidina Ali r.a. dan akhirnya memeluk Islam.
Setelah kembali ke tanah air, Rakeyan Sancang mendirikan tempat syiar Islam di Kadatuan Sura Mandiri di Gunung Nagara. Ia kemudian menyerang Prabu Sudhawarman, yang merupakan adik dari Prabu Kertawarman dan raja ke-9 Kerajaan Galuh. Dalam pertempuran tersebut, Prabu Sudhawarman kalah bahkan hampir tewas.
Rakeyan Sancang kemudian kembali ke Timur Tengah. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Prabu Nagajayawarman, raja ke-10 Kerajaan Galuh, untuk menyerang Kadatuan Sura Mandiri di Gunung Nagara. Penyerangan tersebut menewaskan banyak murid Rakeyan Sancang.
Kisah Prabu Kian Santang
Prabu Kian Santang, yang juga dikenal sebagai Raden Sanggara atau Syekh Sunan Rohmat Suci, adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran, dan Nyi Subang Larang. Lahir pada 1427 M, Kian Santang merupakan salah satu dari tiga anak pasangan ini, bersama dengan Walangsungsang dan Rara Santang. Kian Santang dikenal sebagai tokoh yang memeluk Islam sejak kecil dan turut serta dalam meresmikan Kadipaten Cirebon di bawah kekuasaan abangnya, Raden Walangsungsang.
Pada usia 22 tahun, Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor ke-2 dan terlibat dalam upacara penyerahan tongkat pusaka Kerajaan Pajajaran.
Dalam cerita rakyat, dikisahkan bahwa Kian Santang merasa dirinya paling sakti. Karena perasaan tersebut, ia mencari orang yang lebih sakti untuk menguji kemampuannya. Ia kemudian pergi ke Mekah dan bertemu dengan seorang kakek. Ia menantang kakek tersebut untuk adu kesaktian. Kakek itu lalu menancapkan sebuah tongkat dan meminta Kian Santang mencabutnya. Namun, tongkat itu tidak dapat dicabut oleh Kian Santang. Akhirnya, ia mengakui kekalahannya dan berniat berguru kepada kakek tersebut. Ternyata, kakek itu adalah Sayyidina Ali r.a. bin Abi Thalib.
Selama berada di Mekah, Kian Santang menuntut ilmu dan menikah dengan Nyai Kalimah Sapujagad. Meskipun kisah keturunannya tidak tercatat secara resmi, hal ini menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat.
Tradisi masyarakat menyebutkan bahwa Kian Santang berselisih paham dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, mengenai agama. Kian Santang mengajak ayahnya untuk memeluk Islam, tetapi Prabu Siliwangi menolak. Pada akhirnya, keduanya sepakat memberi keleluasaan kepada Kian Santang untuk menyebarkan Islam di Kerajaan Pajajaran.
Petilasan yang terkait dengan Kian Santang dapat ditemukan di beberapa tempat, termasuk Godog Garut, Gunung Nagara, dan Cilauteureun.
Kisah Rakeyan Sancang dan Kian Santang sama-sama menekankan sejarah syiar Islam di Tatar Sunda. Namun, klaim tentang Rakeyan Sancang dianggap lebih tua dibandingkan kisah Kian Santang yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi. Dengan demikian, kisah Rakeyan Sancang dianggap menggambarkan penyebaran Islam yang mendahului era Wali Songo.
Telaah Teks Cerita
Secara kronologis, pertemuan Rakeyan Sancang dengan Sayyidina Ali memiliki peluang lebih besar untuk dianggap valid, karena Rakeyan Sancang hidup sezaman dengan Sayyidina Ali atau berada di masa yang berdekatan. Jika ditinjau dari aspek waktu, keberadaan kisah Rakeyan Sancang lebih logis dibandingkan dengan kisah Kian Santang, yang berbeda waktu beberapa abad dengan Sayyidina Ali.
Sebaliknya, narasi tentang Kian Santang lebih sulit dijelaskan secara historis. Sebagai figur yang hidup di abad ke-15, pertemuan langsungnya dengan Sayyidina Ali yang hidup pada abad ke-7 sangat mustahil.
Namun, kisah ini sudah kadung menjadi cerita rakyat yang kaya akan dimensi spiritual dan simbolis, ditambah lagi Kian Santang adalah sosok yang keberadaannya lebih terkonfirmasi melalui naskah-naskah yang akurat, karena ia adalah putra Prabu Siliwangi, seorang raja besar yang tercatat dalam sejarah.
Kisah Kian Santang mungkin dianggap berada di luar nalar karena perbedaan jaman, tetapi keberadaan Kian Santang tervalidasi. Sedangkan keberadaan Rakeyan Sancang masih bergantung pada Naskah Wangsakerta, Babad Sancang dan hasil penelitian Ir H. Dudung Faithurohman ditambah keberadaan Gunung Nagara yang disebut sebagai makam Rakeyan Sancang namun masih memerlukan penelitian yang lebih komprehensif agar dapat terkonfirmasi dan tervalidasi.
Pertemuan Kian Santang dengan Sayyidina Ali, yang merupakan dua sosok yang tidak sezaman, dianggap irasional. Namun dalam ruang pemahaman lain, seperti mistisisme, pertemuan semacam ini mungkin lebih bisa diterima penjelasannya sebagai pengalaman spiritual, sebagaimana kisah bertemunya Imam Ghazali dengan Nabi Musa a.s. Kisah seperti ini hanya dapat dipandang dalam aspek keyakinan dan tidak memenuhi syarat sebagai sejarah.
Hal yang menggembirakan dari kontroversi kisah Rakeyan Sancang dan Prabu Kian Santang seperti yang dinyatakan oleh Abah Anton Charlian bahwa hal ini memberikan teori baru tentang masuknya Islam ke Nusantara jauh lebih tua dari Wali Songo, dalam kata lain Tatar Sunda telah mengenal Islam sejak Islam itu sendiri sedang berkembang.***Raesha













