Dejurnal.com, Bandung – Sejumlah pengurus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Katagori (GTKHNK) Kabupaten Bandung mendatangi gedung DPRD setempat untuk mengadukan tiga tuntutan kepada pemerintah melalui anggota DPRD, Jum’at (4/2/2022).
Mereka diterima 5 amggota DPRD, yakni Tedi Surahman, Maulana Fahmi, Cecep Suhendar, Riki Ganesa, dan Juita. Dalam audensi yang berlangsung di Ruang Badan Musyawarah itu, Ketua GTKNHK menyampaikan tiga tuntutan.
Ketua GTKHNK Ripan Sopardani mengatakan, ketiga tuntutan tersebut
yang pertama, sebut Ripan, yakni terkait rekruitment Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPK ) 2021. Pihaknya menuntut untuk P1, P2, P3 itu Pemda mengajukan formasi sesuai kebutuhan. “Kami minta bagi P1, P2, P3 itu langsung diangkat tanpa test lagi di tahun 2022,” katanya kepada dejurnal.com seusai audensi.
Tuntutan yang kedua, lanjut Ripan yakni mengenai kesejahteraan guru honorer di Kabupaten Bandung yang menurutnya sangat tidak tersentuh dari kebijakan-kebijakan pemerintah, bahkan kalah dengan guru-guru ngaji yang baru. “Sedangkan kami yang sudah lama mengabdi belasan tahun, bahkan puluhan tahun ini belum sejahtera, ” ujarnya.
Selain itu, Ripan pun mempertanyakan dana BOS yang 50 persen, menurutnya kenyataan di lapangan belum maksimal. “Sedangkan peraturan di pusat sudah mengintruksikan bahwa untuk kesejahteraan honorer boleh digunakan. Tapi di lamapangan itu sangat ironis. Tergantung lagi dari kebijakan kepala sekolah masing-maaing, ” ujarnya.
Tuntutan yang ketiga, sambung Ripan, pihaknya meminta tenaga honorer itu diberikan SK bupati supaya menjadi honor daerah (Honda) melengkapi persyaratan untuk mengikuti tes Pendidik Profesi Guru (PPG).
Ripan menambahkan, dari jumlah 16 ribu guru honorer, yang menjadi anggota GTKHNK 35+ sekitar 6 ribu, menurutnya dari jumlah itu yang baru tercover dengan P3K hanya 1700 orang, karena terkendala dengan formasi yang tersedia hanya 1750 tahun 2021.
Sementara itu, seusai audensi Tedi Surahman menjelaskan tuntutan terkait kebijakan formasi dan kebijakan hasil seleksi, kebijakan tersebut menurutnya ada di pusat, daerah hanya menentukan formasi, kemudian mengangkat dan merekrut.
“Kalau tadi pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan itu lebih banyak kepada kebijakan yang disampaikan oleh kementrian. Kita nanti akan jawab dengan mengajak untuk berkoordinasi ke Jakarta sekalian, ” jelas Tedi.
Kalau pertanyaan yang berkait dengan kesejahteraan menurut Tedi, itu kewenangannya ada di kabupaten. Yakni tentang status guru honor. “Itu sudah dianggarkan, dihitung oleh Komosi D dengan Disdik, tinggal regulasinya belum ada, yaitu Perbupnya. Kalau Perbupnya keluar berarti anggaran itu bisa dikeluarkan, ” terangnya.
Jadi menurut Tedi, ada dua kebijakan yang dibahas dalam audensi tersebut, yakni ada kebijakan pusat dan ada kebijakan daerah. “Kebijakan pusat kita tidak bisa menjawab karena kewenangannya dari kementrian, baik kementrian pendidikan maupun kemenpan. Nah, kalau yang kewenangannya daerah kita dianggarkan lagi saja, dihitung kebutuhannya berapa. Ini wajib didorong, karena sudah dianggarkan. Kita dorong supaya Perbubnya segera keluar, biar anggarannya segera turun, ” pungkas Tedi.***Sopandi