Dejurnal.com, Bandung – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) secara resmi menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Ketua KPU Garut, Dian Hasanudin, serta menjatuhkan peringatan keras terakhir kepada empat komisioner lainnya yaitu Dedi Rosadi, Yusuf Abdullah, Asyim Burhani, dan Rike Rahayu.
Sanksi tersebut dibacakan langsung dalam sidang putusan DKPP RI pada Senin 14 April 2025 dan menjadi catatan kelam bagi KPU Kabupaten Garut.
Dalam putusannya DKPP menyatakan bahwa tindakan para teradu mencederai prinsip dasar kejujuran dan profesionalitas dalam penyelenggaraan pemilu.
Berdasarkan hasil pengawasan internal KPU Provinsi Jawa Barat, ditemukan ketidaksesuaian data perolehan suara antara formulir model D hasil kecamatan dengan formulir rekapitulasi di tingkat kabupaten pada lima kecamatan, yaitu Pamengpeuk, Cisewu, Cilawu, Cibalong, dan Cisompet. DKPP menilai bahwa KPU Garut tidak cermat dan gagal menjaga integritas proses perolehan suara.
DKPP juga mengungkap adanya dugaan perintah langsung dari Ketua KPU Garut, Dian Hasanudin, kepada jajaran PPK untuk menambah suara bagi salah satu calon anggota DPR dari Partai NasDem.
Fakta ini diperkuat oleh kesaksian Ahmad Jaki dan Asep Tardi yang menyebut bahwa terjadi perubahan suara signifikan pada formulir model D, dengan peningkatan sebanyak 3.572 suara.
Ahmad Jaki, anggota PPK Pamengpeuk, mengungkapkan bahwa dirinya dan rekannya diminta menandatangani draf formulir yang sudah diubah tanpa melalui proses pleno yang sah.
Ia juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara hasil rekapitulasi di tingkat kecamatan dan data yang dibacakan di tingkat kabupaten. Hal serupa juga diungkapkan Asep Tardi, Ketua PPK Kecamatan Leles, yang menerima telepon dari pihak-pihak internal KPU untuk turut serta dalam manipulasi data suara, namun menolak melaksanakannya.
DKPP menilai, Ketua KPU Garut tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga mengkhianati tanggung jawab moral untuk menjaga kemurnian suara rakyat. Sebagai pimpinan lembaga, seharusnya ia menjadi penjaga marwah KPU, bukan justru aktor utama pelanggaran.
Oleh karena itu, sanksi pemberhentian tetap dianggap layak dan proporsional atas pelanggaran yang dilakukan. Keempat komisioner lainnya—Dedi, Yusuf, Asyim, dan Rike—meskipun tidak terbukti sebagai inisiator, tetap dinilai lalai dan tidak menjalankan fungsi pengawasan internal yang seharusnya. Mereka turut memikul tanggung jawab etik atas kerusakan sistemik dalam proses rekapitulasi suara yang merugikan kepercayaan publik terhadap lembaga KPU.***Red