Dejurnal.com, Bandung – Pasca lebaran, Objek wisata Gunung Puntang Kabupaten Bandung banyak dikunjungi wisatawan, terutama yang sengaja berkemah. Di antaranya keluarga besar Oen Eppendi. Keluarga yang berdomisili di Kecamatan Margahayu ini, setalah sepekan sebelumnya mengadakan Patepung Lawung yang ke 32 dengan 500 anggota keluarga Bani Thayyib, pada Sabtu- Minggu (5-6/4/2025) berkemah dengan sekitar 70 anggota keluarga.
Oen Eppendi memiliki 16 anak, dalam kemah di Gunung Puntang tersebut, diikuti oleh anak , mantu, cucu serta cicit. Dari 16 anak Oen Eppendi, yang hadir saat itu dipaksa untuk menyampaikan pesan.
Dari salah satu putra Oen Eppendi, Leman Sulaeman terungkap kemah di Gunung Puntang merupakan silaturahmi dan saling wasiati dalam suasana yang berbeda, sekaligus napak tilas.
Menurut Leman, disebut napak tilas karena kakek mereka dari ibu, yang bernama Raden Wirya dulu bekerja di Radio Malabar, dan menjadi staf yang bisa melakukan beberapa pekerjaan ketika yang lain tidak bisa melakukannya.
Menurut Leman, ia menyampaikan sejarah dan silsilah nasab bukan untuk membangga-banggakan diri dengan nasab itu tetapi untuk makin mempererat silaturahmi dan tidak putus silsilah keluarga. Intinya, kata Leman jika saling mengenal dengan sesama keturunan, maka makin erat silaturahmi dan bisa saling nasehati.
Sejarah Radio Malabar
Gunung Puntang di Desa Campaka Mulya Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung salah satu bumi perkemahan yang menjadi primadona para pencinta alam maupun keluarga. Selain hawanya yang sejuk dengan rindang hutan pinus, gunung yang puncaknya disebut Puncak Mega ini memiliki ketinggian 2.224 mdpl, juga sebagai tempat bersejarah.
Di tempat ini pada zaman Hindia Belanda dibangun stasion radio pertama di Indonesia, dan terbesar se Asia Tenggara yakni Radio Malabar yang mulai dibangun pada tahun 1916 dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock pada tanggal 5 Mei 1923.
Situasi Perang Dunia I yang tidak memungkinkan ketersediaan kabel, serta rentan secara teknis dan politis untuk menyambungkan Belanda dan Hindia Belanda secara langsung dan nirkabel maka koneksi gelombang panjang menjadi pilihan.
Proyek pembangunan Stasiun Radio Malabar dirancang oleh Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot, seorang ahli teknik elektro lulusan sebuah universitas di Karlsruhe, Jerman.
Willem Smit & Co’s Transformatorenfabriek memasok kumparan besar dan beberapa trafo. Sementara generator dipasok oleh Smit Slikkerveer. Sebagai pendukung tenaga listrik dibangun PLTA Dago, PLTA Plengan dan PLTA Lamadjan, serta PLTU di Dayeuhkolot. Antena dibentangkan sepanjang 2 kilometer antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun untuk memancarkan gelombang radio. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Antena dibangun mengarah ke Belanda yang berjarak 12.000 kilometer dari Gunung Puntang.
Stasiun Radio Malabar dihancurkan pada tanggal 24 Maret 1946, saat peristiwa Bandung Lautan Api. Penghancuran ini dilakukan oleh Laskar Hizbullah atas perintah Mayor Daan Yahya karena tidak ingin stasiun Radio ini digunakan oleh Kolonial Belanda untuk berkomunikasi ke Belanda.
Sampai saat ini, puing-puing sisa bangunan Stasion Radio malabar dan sisa beberapa bangunan penunjang lainnya masih kokoh menjadi saksi bisu sejarah.
Gunung Puntang yang merupakan bagian dari Gunung Malabar secara resmi di buka menjadi tempat wisata alam pada tahun 1998. Di gunung ini terdapat objek wisata seperti Goa Belanda, Kolam Cinta, dan air terjun yang dikenal dengan nama Curug Siliwangi yang jaraknya sekitar 3,5 km dari area perkemahan, atau sekitar 2 jam ditempuh dengan jalan kaki.
Dari Curug Siliwangi, Sungai Cikeureuh yang dangkal berbebatuan dengan air bening mengalir melintas ke areal perkemahan. Sungai ini menjadi salah satu tempat yang menarik bagi pengunjung untuk “icikibung” meski dingin.
Sedangkan Goa Belanda yang panjangnya 165 meter dan tinggi 170 cm, dulunya digunakan untuk tempat menyimpan alat-alat radio.* Sopandi