Dejurnal.com, Garut – Suasana Desa Dunguswiru terasa begitu berbeda. Kepala Desa Dadang Kusnadi, perwakilan Baznas Garut Saepul, serta Ketua PAC PDI Perjuangan Kecamatan Limbangan Ali beserta jajarannya, hadir bukan sekadar memenuhi undangan, melainkan menghadirkan kehangatan kemanusiaan.
Mereka menjadi saksi bahwa kepedulian sosial bukanlah sekadar kata-kata, melainkan perbuatan nyata yang lahir dari hati dan semangat gotong royong, Rabu (27/8/2025).
Di tengah momen itu, kisah seorang guru sederhana menyentuh hati banyak orang. Dialah Pak Yaman, guru honorer di sebuah Madrasah Tsanawiyah swasta. Dengan penghasilan hanya Rp 90 ribu per bulan, ia tetap setia mengabdi.
Nilai Rp 90 ribu jelas tak sebanding dengan kebutuhan hidup, apalagi untuk menafkahi keluarga. Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan keteguhan hati seorang penyandang disabilitas yang memilih untuk tidak menyerah pada keadaan.
Pak Yaman tidak hanya mengajar membaca dan menulis. Ia menanamkan harapan, menyiramkan semangat, dan membangun mimpi-mimpi kecil anak-anak didiknya. Dalam keterbatasan fisiknya, ia tetap berdiri tegak di depan kelas, seolah berkata bahwa cinta dan dedikasi tak pernah bisa diukur dengan rupiah.
Anggota DPRD Fraksi PDI Perjuangan, Yudha Puja Turnawan, tak kuasa menyembunyikan rasa hormatnya. “Sosok seperti Pak Yaman harus mendapat perhatian lebih. Pemkab Garut perlu membangun kolaborasi dengan Baznas, CSR perusahaan, maupun kementerian terkait. Saya akan berkoordinasi dengan Kementerian Sosial agar dilakukan asesmen lebih lanjut dan dukungan kewirausahaan bagi beliau. Pak Yaman bukan sekadar guru honorer, ia adalah penyandang disabilitas yang telah mendedikasikan hidupnya demi pendidikan anak bangsa. Sosok seperti ini wajib kita jaga, hormati, dan dukung,” tegasnya.
Harapan itu bergema, agar apa yang diterima Pak Yaman tidak berhenti pada bantuan sesaat. Dibutuhkan langkah nyata dan berkelanjutan—agar ketulusan seorang guru yang berjuang dalam keterbatasan bisa berbalas dengan kesejahteraan yang layak.
Pak Yaman adalah potret nyata bahwa pengabdian sejati lahir dari hati yang tulus. Ia membuktikan, meski tubuh memiliki keterbatasan, jiwa yang penuh cinta pada ilmu akan selalu menemukan jalannya. Kini saatnya pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat bersatu, memastikan bahwa perjuangan mulia seorang guru tidak lagi dibayar dengan air mata, melainkan dengan penghargaan, kepedulian, dan kehidupan yang lebih bermartabat.**Willy