Dejurnal.com, Garut – Di balik perbukitan Desa Dayeuh Manggung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tersembunyi sebuah situs bersejarah yang jarang diketahui masyarakat luas. Di lokasi yang jauh dari hiruk pikuk kota itu, terdapat kompleks makam kuno yang diyakini sebagai tempat peristirahatan tokoh besar bernama Eyang Perbu Permana Dipuntang Wali Kaputihan, yang disebut-sebut masih memiliki garis keturunan dengan Prabu Siliwangi.
Menurut penuturan Kepala Desa Dayeuh Manggung, Nurdin, kisah keberadaan makam Eyang Perbu Permana Dipuntang Wali Kaputihan, diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan.
“Informasi dari orang tua dulu mengatakan bahwa Eyang Perbu Permana masih paman dari Sunan Dayeuh Manggung. Beliau dimakamkan di sini bersama keluarganya, di area makam yang sakral ini, juga dimakamkan istrinya Ibu Rincib Cahaya Kaputihan, putrinya Ibu Sunten Agung Sinten Agung, dan seorang pengawal kerajaan yang dikenal sebagai Sembah Doro, yang berperan sebagai patih pada masa kerajaan,” paparnya.
Kades Nurdin mengungkapkan, berdasarkan cerita masyarakat setempat, dahulu di kawasan ini pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Mandala Dipuntang. Situs makam yang kini menjadi tempat ziarah dipercaya sebagai bagian dari peninggalan kerajaan tersebut.
“Kalau kita melihat ke belakang, sangat mungkin makam ini merupakan bagian dari pusat kerajaan Mandala Dipuntang. Tradisi lisan yang berkembang di kampung Dayeuh Manggung menunjukkan adanya keterkaitan kuat dengan sejarah kerajaan tersebut,” jelasnya.
Perawatan makam Eyang Perbu Permana Dipuntang Wali Kaputihan pun telah dilakukan secara turun-temurun oleh para kuncen atau penjaga makam. Tercatat mulai dari Abah Suma, kemudian diteruskan oleh Abah Emim, lalu Abah Oo, dan kini dijaga oleh anaknya, Pak Jajang. Tugas menjaga situs ini tidak berpindah tangan ke luar keluarga dan tetap diwariskan sebagai amanah leluhur.
Menyadari pentingnya situs ini sebagai warisan sejarah, Kades Nurdin mengatakan bahwa Pemdes Dayeuh Manggung bersama warga telah berupaya meningkatkan akses menuju makam. Jalan setapak yang sebelumnya hanya selebar 60 cm kini telah diperlebar menjadi sekitar 1,5 meter dengan panjang kurang lebih 100 meter.
“Pelebaran jalan ini murni hasil swadaya masyarakat. Warga yang memiliki lahan bahkan dengan sukarela menghibahkan tanahnya demi kemudahan akses bagi para peziarah,” tutur Nurdin.
Meski begitu, lokasi makam yang berada di ketinggian membuat perjalanan ke sana cukup menantang. Tidak seperti situs ziarah lain seperti Makam Sunan Godog di Limbangan yang dapat dijangkau kendaraan roda empat, jalan menuju makam Eyang Permana hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau sepeda motor itu pun cukup sulit.
Kendati tersembunyi, makam Eyang Perbu Permana Dipuntang Wali Kaputihan ini tetap menjadi tujuan ziarah banyak orang dari berbagai daerah seperti Bandung, Bekasi, hingga Cirebon. Bahkan, banyak peziarah yang bermalam di sekitar makam pada malam Selasa. Mereka datang dengan berbagai niat dari mencari ketenangan batin hingga berharap kelancaran urusan hidup.
Baca juga : Mengenal Leluhur dan Turunan Bangsawan Timbanganten, Cikal Bakal Para Dalem Bandung
Baca juga : Sedih! Cagar Budaya Garut Baru Tiga, Satria Ratna : Masyarakat Harus Diberi Pemahaman Tentang Cagar Budaya
Terdapat pula mitos yang diyakini sebagian pengunjung, yakni tentang sebuah batu di makam Ibu Sunten Agung Sinten Agung. Konon, jika batu tersebut terasa ringan saat diangkat, maka keinginan seseorang akan terkabul, seperti menjadi pejabat atau pengusaha. Sebaliknya, jika batu itu terasa berat, maka harapan tersebut belum saatnya terwujud. Meski begitu, Nurdin menegaskan bahwa semua itu hanyalah bagian dari syariat usaha manusia, sedangkan hasil akhirnya tetap berada dalam takdir Allah SWT.
Keberadaan makam Eyang Perbu Permana Dipuntang menunjukkan bahwa sejarah Kabupaten Garut tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan masa lalu. Sayangnya, belum banyak masyarakat yang mengetahui situs ini. Hanya kalangan tertentu yang datang, biasanya setelah mendapatkan ilham atau saran dari sesepuh.
“Banyak yang datang ke sini karena mendapat petunjuk. Mereka bilang, ‘kalau ingin hidupmu lancar, coba ziarahi makam Sunan Dayeuh Manggung. Itu cerita yang sering kami dengar dari para peziarah,” kata Nurdin.
Ia berharap ke depan makam ini dapat diangkat menjadi situs sejarah resmi dan dikelola secara profesional, sehingga dapat menjadi magnet wisata religi dan sejarah bagi masyarakat Garut maupun luar daerah.
“Makam ini adalah warisan leluhur yang sangat berharga. Jangan sampai dibiarkan begitu saja. Kita harus melestarikannya,” tegasnya.
Makam Eyang Perbu Permana Dipuntang bukan hanya tempat peristirahatan tokoh spiritual, tetapi juga jejak nyata peradaban masa lalu yang menyimpan nilai sejarah dan budaya tinggi. Di balik sunyi dan sulitnya akses menuju lokasi, tersimpan kisah panjang tentang kerajaan, dakwah, dan keagungan leluhur Sunda. Kini, tantangannya adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah daerah dapat bekerja sama agar situs ini tetap terjaga, dikenali, dan dimanfaatkan sebagai warisan sejarah yang membanggakan.***Willy