Dejurnal.com, Garut – Latar belakang berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Samudera Indonesia Selatan (STISIP Sains) yang berlokasi di Jalan Raya Mekarmukti, Desa Mekarmukti, Kecamatan Mekarmukti, Kabupaten Garut, sangat erat kaitannya dengan perjuangan masyarakat Garut selatan untuk menjadi Daerah Otonomi Baru.
Hal tersebut disampaikan Ketua STISIP Sains Dr. Asep Dadang, S.IP., M.Si. saat berbincang dengan dejurnal.com, pasca prosesi Sidang Terbuka Senat Akademik Wisuda 2 Tahun 2025, Sabtu (11/10/2025)
“STISIP Sains ini resmi mulai beroperasi pada tahun 2018, namun ide dan gagasan pembentukannya telah dimulai jauh sebelumnya, bahkan sejak dua dekade silam,” ujar Asep Dadang.
Ia pun memaparkan perjalanan panjang berdirinya STISIP serta latar belakang historis yang melandasi semangat pembangunan pendidikan tinggi di wilayah selatan Garut.
Menurutnya gagasan membangun pendidikan tinggi di Garut bagian selatan berawal dari semangat kaum muda di era 1997, saat ia sendiri masih menjadi mahasiswa. Kala itu, terbentuklah wadah bernama Forum Pengkajian dan Pengembangan Mahasiswa Aliansi Selatan, sebuah organisasi yang diinisiasi oleh mahasiswa dan aktivis daerah untuk memperjuangkan kemajuan wilayah selatan Garut.
“Aliansi Selatan adalah salah satu kekuatan yang mampu mendobrak kebekuan dan membuka ruang perjuangan bagi masyarakat selatan,” ungkapnya.
Forum tersebut menjadi motor penggerak munculnya kesadaran kolektif bahwa pembangunan wilayah tidak akan berhasil tanpa penguatan sumber daya manusia (SDM). Dari forum inilah, ide-ide tentang pemerataan pembangunan dan bahkan wacana pemekaran Kabupaten Garut Selatan mulai digagas secara serius.
Asep Dadang mengingat kembali bagaimana perjuangan itu berlangsung. Pertemuan-pertemuan penting dilakukan di berbagai lokasi, salah satunya di Pendopo Banjarwangi, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh perwakilan dari lima wilayah besar: Banjarwangi, Cikajang, Cikelet, Pameungpeuk, dan Mekarmukti.
Dari sanalah lahir komitmen untuk memperjuangkan terbentuknya kabupaten baru, dengan keyakinan bahwa wilayah selatan memiliki potensi besar yang selama ini belum tergarap optimal.
“Perjuangan itu berbuah hasil ketika pada tahun 2013, pemerintah pusat menerbitkan Nomor Penetapan 66 Tahun 2013 sebagai dasar pertimbangan administratif. Meski belum berujung pada pemekaran kabupaten, keputusan itu menjadi tonggak penting perjuangan masyarakat selatan,” jelasnya.
Dalam pandangan Dr. Asep, tidak akan ada kabupaten yang kuat tanpa lembaga pendidikan tinggi sebagai lumbung SDM-nya. Ia menegaskan, pembangunan wilayah harus sejalan dengan pembangunan manusia melalui jalur pendidikan. Itulah yang kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan perguruan tinggi di wilayah selatan Garut.
“Latar belakang berdirinya STISIP ini sangat erat kaitannya dengan perjuangan masyarakat selatan. Jika suatu saat kabupaten ini benar-benar mekar, maka harus sudah ada lembaga pendidikan tinggi yang siap mencetak kader dan tenaga ahli daerah,” tegasnya.
Dr. Asep juga menambahkan, wilayah-wilayah seperti Cikalong dan Cipatujah memiliki jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar mencapai lebih dari 45.000 jiwa. Potensi ini menjadi alasan kuat bahwa lembaga pendidikan tinggi sangat dibutuhkan, agar masyarakat tidak perlu menempuh jarak jauh untuk melanjutkan studi ke Tasikmalaya atau Garut kota.
Pada tahun 2005, telah ada kesepakatan antara pihak yayasan dan beberapa lembaga sosial untuk mengajukan perubahan status sekolah tinggi menjadi universitas.
Menurut Dr. Asep, hal ini merupakan bentuk keseriusan yayasan dalam memajukan dunia pendidikan di jalur selatan Garut.
Namun perjuangan tidak mudah. Pemerintah pusat sempat menetapkan moratorium pendirian perguruan tinggi baru, yang otomatis menghentikan sementara seluruh proses izin pendirian universitas atau sekolah tinggi.
“Saya pribadi cukup kaget dan bangga, karena di tengah moratorium itu, STISIP justru berhasil mendapatkan Surat Keputusan (SK) pendirian resmi. Padahal saya sendiri sudah lima tahun di Tasikmalaya, di Manonjaya, berjuang untuk mendirikan perguruan tinggi serupa dan belum berhasil. Ini luar biasa,” ujarnya dengan nada kagum.
Terkait perhatian Pemerintah Kabupaten Garut terhadap keberadaan STISIP, Dr. Asep mengakui bahwa sejauh ini pemerintah menunjukkan dukungan positif.
“Program-program Bupati cukup baik, terutama yang menyentuh aspek pendidikan dan pengembangan sumber daya alam di selatan,” katanya.
Namun, tantangan tetap ada. Mulai dari keterbatasan infrastruktur, akses transportasi, hingga ketersediaan tenaga dosen dan fasilitas akademik.
Menurutnya, tantangan ini bukan hambatan, melainkan ujian bagi komitmen perjuangan masyarakat selatan dalam membangun peradaban melalui pendidikan.
Menutup pembicaraan, Dr. Asep Dadang menegaskan bahwa perjuangan pendidikan di selatan Garut bukan hanya perjuangan lokal, melainkan bagian dari pengabdian kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Walaupun kampus ini berada di wilayah Garut Selatan, namun semangat dan tujuannya tetap untuk Indonesia. Kita ingin melahirkan generasi muda yang cinta daerahnya, berilmu, dan berkarakter nasionalis,” ujarnya penuh keyakinan.
Baginya, berdirinya STISIP Samudera Indonesia Selatan adalah bukti nyata bahwa perjuangan panjang, dedikasi, dan tekad kuat dapat melahirkan perubahan besar. Apa yang dahulu hanya menjadi cita-cita mahasiswa kini telah menjelma menjadi lembaga pendidikan tinggi yang menyalakan harapan baru bagi masa depan Garut Selatan.***Willy