Purwakarta,dejurnal.com – Komunitas Madani Purwakarta (KMP) menilai bahwa narasi “hutang DBHP” (Dana Bagi Hasil Pajak) yang beredar di ruang publik berpotensi menjadi bentuk rekayasa hukum untuk menutupi indikasi pelanggaran serius dalam pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Purwakarta.
Ketua KMP, Zaenal Abidin,dalam rilis tertulisnya, Kepada media ini,Munggu,26 Oktober 202, menegaskan bahwa DBHP merupakan belanja wajib (mandatory spending) yang tunduk pada azas tahunan (annuality). Artinya, seluruh alokasi DBHP harus disalurkan dalam tahun anggaran berjalan, dan tidak dapat ditunda atau disebut sebagai hutang antartahun.
“Narasi hutang DBHP itu menyesatkan publik dan secara hukum tidak berdasar. Siapa pun yang membingkai hal itu berpotensi turut serta dalam perbuatan melawan hukum,” tegas Zaenal.
Fakta RDPU: Tidak Ada Alasan Sah Menunda DBHP
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara KMP dan DPRD Kabupaten Purwakarta pada 29 Agustus 2025, terungkap sejumlah fakta penting:
Tidak ada kondisi luar biasa (force majeure) pada tahun 2016–2018 yang dapat dijadikan alasan sah untuk menunda penyaluran DBHP.
Tidak pernah ada izin DPRD untuk menunda atau mengalihkan alokasi DBHP.
Tidak ditempuh mekanisme perubahan APBD oleh pihak eksekutif.
Dengan demikian, seluruh dasar hukum untuk menunda DBHP tidak terpenuhi sama sekali.
KMP menilai kondisi ini berpotensi memenuhi unsur penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, serta dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 15 UU Tipikor terkait perbuatan melawan hukum dan persekongkolan dalam tindak pidana korupsi.
Indikasi Penggunaan Dana Silang Tahun
KMP juga menemukan indikasi bahwa pembayaran DBHP dilakukan di luar tahun anggaran, diduga menggunakan anggaran tahun 2019 dan 2020, di masa pemerintahan berikutnya.
Tanpa bukti akuntansi yang sah terkait Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), praktik ini berpotensi sebagai bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah.
“Jika pembayaran DBHP dilakukan menggunakan anggaran tahun berikutnya tanpa dasar hukum yang jelas, maka ada dugaan penggunaan uang yang bukan peruntukannya,” ungkap Zaenal.
Temuan KMP semakin menguat setelah Inspektorat Purwakarta tidak dapat menunjukkan bukti SP2D maupun bukti transfer (TF) atas klaim pembayaran DBHP yang disebut dilakukan pada 2019–2020. Hal ini menandakan adanya potensi kekacauan sistemik dalam tata kelola keuangan daerah.
KMP Surati Kemenkeu: Klarifikasi dan Data Resmi Didesak
Sebagai tindak lanjut, KMP telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) pada 24 Oktober 2025 di Jakarta.
Surat bernomor 0212/KMP/PWK/X/2025 tersebut memuat tiga permintaan pokok:
1. Izin atau Persetujuan Penundaan DBHP — apakah Kemenkeu pernah memberikan izin resmi kepada Pemkab Purwakarta untuk menunda atau mengalihkan DBHP lintas tahun tanpa perubahan APBD;
2. Data Transfer dan Realisasi DBHP 2016–2018 — termasuk data dana dari provinsi ke kabupaten, kabupaten ke desa, serta pencatatan SILPA pada pos DBHP;
3. Ketentuan Teknis Penundaan atau Pengalihan DBHP — mekanisme hukum yang sah apabila penundaan dilakukan karena kondisi luar biasa (extraordinary circumstances).
KMP menilai bahwa fakta pernyataan Ketua DPRD dalam RDPU memperkuat dugaan tidak adanya izin Kemenkeu, yang berarti tindakan penundaan DBHP berpotensi ilegal secara administratif maupun substantif.
“Penundaan DBHP tanpa izin Kemenkeu adalah pelanggaran nyata. Tidak ada dasar hukum, tidak ada alasan sah, tidak ada perubahan anggaran — maka ini dugaan kuat adanya pelanggaran hukum dalam struktur kebijakan fiskal daerah,” tegas Kang ZA.
KMP: Narasi “Hutang DBHP” Perlu Diusut Tuntas
KMP mendesak agar seluruh pihak yang turut membingkai dan menyebarkan narasi “hutang DBHP” diperiksa oleh aparat penegak hukum (APH) untuk memastikan kebenaran dan pertanggungjawaban hukum atas kebijakan tersebut.
“Kami percaya, di era pemerintahan Presiden Prabowo, semua orang sama kedudukannya di mata hukum. Tak ada kekuasaan yang kebal hukum. Yang melanggar, harus diperiksa,” ujar Zaenal Abidin.
Langkah Hukum KMP: Dari Data ke Penegakan
KMP menegaskan bahwa langkahnya ke Kemenkeu bukan sekadar simbolik, melainkan tahapan formil dalam pembuktian yuridis dan administratif.
Surat klarifikasi ini akan menjadi pijakan penting untuk mendorong audit investigatif dan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran dalam pengelolaan DBHP 2016–2018.
“Narasi hutang atas raibnya DBHP ini tidak akan berhenti pada opini publik. Ia akan diuji secara hukum — karena hanya hukum yang dapat mengembalikan keadilan fiskal bagi desa,” pungkas Zaenal menutup pernyataannya.***budi













