Dejurnal.com, Garut – Apa yang seharusnya menjadi perayaan penuh sukacita berubah menjadi tragedi memilukan . Pesta rakyat dalam rangka pernikahan Putri Karlina, Wakil Bupati Garut, dengan Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat, yang digelar di Alun-alun Garut pada Jumat (18/7/2025), berujung duka. Tiga orang meninggal dunia akibat insiden desak-desakan massa dalam acara bertajuk “Panggung Hiburan Rakyat” tersebut.
Korban jiwa terdiri dari Vania Aprilia (8), seorang bocah perempuan warga Kelurahan Sukamentri; Dewi Jubaedah (61), warga lansia yang ikut antre makanan; serta Bripka Cecep Saeful Bahri (39), anggota kepolisian yang tengah bertugas di lapangan.
Ketiganya kehilangan nyawa dalam suasana yang tak terkendali—disaat ribuan orang memadati area alun-alun demi mendapatkan 5.000 porsi makanan gratis yang diumumkan sebelumnya melalui media sosial.
Kisah paling menyayat hati datang dari Mela, seorang pedagang kecil yang hari itu sedang menjajakan dagangannya di sekitar lokasi. Ia tidak menyangka anak semata wayangnya, Vania, yang sedang bermain bersama teman-teman di sekitar lapak, akan menjadi korban tragedi.
“Saya lagi jualan, tahu-tahu anak saya udah di ambulans. Waktu saya lihat, tubuhnya sudah dingin dan bengkak,” ungkap Mela sambil terisak.
Tak ada firasat buruk sebelumnya. Vania hanya ingin bermain, seperti anak-anak lain yang ikut meramaikan suasana. Namun kerumunan yang tiba-tiba menjadi liar saat gerbang dibuka sebagian, merenggut nyawanya.
Menurut keterangan Neulis, seorang saksi mata yang juga pedagang, kepanikan massal terjadi begitu panitia membuka sebagian pintu masuk ke area acara. Warga yang sejak pagi mengantre langsung menyerbu masuk tanpa bisa dikendalikan.
“Semua berebut mau ambil makanan gratis. Panitia enggak siap. Begitu gerbang dibuka, ribuan orang langsung nyerbu,” katanya.
Informasi mengenai pembagian makanan gratis tersebar viral di TikTok dan platform lainnya, membuat alun-alun penuh sesak oleh warga dari berbagai penjuru.
Kendati kepolisian dan Satpol PP telah dikerahkan, situasi tak tertangani dengan baik. Laporan menyebut banyak warga pingsan, terinjak, dan terjepit, terutama di titik masuk dan sekitar panggung hiburan.
“Pengamanan enggak sebanding sama jumlah orang. Kami udah berusaha, tapi kondisi di luar kendali,” ujar salah satu petugas lapangan.
Bripka Cecep, yang ikut bertugas mengatur lalu lintas massa, turut menjadi korban jiwa—sebuah pengorbanan yang menyedihkan bagi aparat yang sedang menjalankan tugas negara.
Tragedi ini menjadi alarm keras bahwa pengelolaan acara publik, terutama yang melibatkan kerumunan besar, membutuhkan perencanaan matang dengan protokol keselamatan sebagai fondasi utama. Minimnya mitigasi risiko, keterbatasan pengamanan, serta komunikasi yang tidak terkontrol di media sosial, berujung pada kehilangan nyawa yang seharusnya dapat dicegah.
Pesta rakyat yang semestinya menjadi simbol kedekatan pemimpin dengan warganya justru menjadi catatan kelam—bahwa tanpa tanggung jawab, pesta bisa berubah menjadi petaka.**Willy