Dejurnal.com, Karawang – Sebanyak 10 orang warga Desa Sukamulya , Kecamatan Cilamaya Kulon, diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Negeri Jiran Malaysia hingga mengadu nasib berangkat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bekerja di perusahaan perkebunan nanas di wilayah Pahang, Malaysia dengan iming-iming upah besar hingga RM 1800 setara dengan Rp 5,9 juta.
Sukara (40) salah satu korban yang berhasil kabur dengan biaya sendiri mengatakan awalnya didatangi sponsor bernama Sarpin alias Aping (42) warga Muktijaya, Cilamaya Kulon, menawarkan lowongan kerja dan membutuhkan tenaga kerja ditempatkan di Malaysia, dengan iming-iming gaji besar yang membuat mereka tertarik sehingga ikut bekerja di negara Jiran Malaysia.
“Diiming-iming gaji besar oleh sponsor hingga 5,9 juta perbulan dengan fasilitas dijamin selama bekerja, ada sekitar 15 orang berangkat menjadin TKI di Malaysia,” kata Sukara, Sabtu (1/2/2020) di rumahnya.
Dia menceritkan saat hari pemberangkatan dirumah sponsor bukan saja warga Karawang, malah ada dari Jakarta dan Cirebon pada 30 Desember 2017, seluruh pekerja migran diberangkatkan menuju Malaysia melalui Bengkalis, Pekanbaru, melalui jalur ilegal menggunakan jalur laut pada malam hari .
“Semuanya pekerja berangkat melalui Bengkalis melalui jalur laut menuju Malaysia,” jelasnya.
Setelah bekerja diperkebunan nanas di Pahang, Malaysia, bukannya gaji besar dan fasilitas nyaman, malah sebaliknya dengan gaji kecil dan tidur digubuk-gubuk apalagi saat dibuatkan paspor sebagai paspor kunjungan yang masa berlakunya hanya 30 hari.
“Kami semua menderita , dipekerjakan seperti kerja romusa dengan jam kerja tidak jelas, untung saya berlima bisa kabur dengan biaya sendiri,” katanya.
Dia juga menceritakan salah satu pekerja meninggal akibat sakit stroke bernama Munawar pada 6 Januari 2020, karena sering kelaparan dan kerja berpindah-pindah akibat dikejar polisi Diraja Malaysia. 10 orang warga Cilamaya masih belum bisa pulang karena sebagai TKI ilegal.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Karawang, Didin mengatakan perekrutan pekerja migran secara ilegal telah melanggar pasal 81 ayat 10 undang-undang nomor 18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia yang melarang penempatan secara perseorangan, dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda 15 miliar.
Lanjutnya, perekrut juga diduga telah melanggar pasal 4 undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang.
Hal itu bisa dilihat dari unsur-unsurnya, yang pertama unsur “cara”, yaitu membohongi dengan janji bahwa para calon pekerja migran akan digaji besar dan fasilitas makan minum serta tempat tinggal.
“Ini jelas eksploitasi yaitu kerja paksa, para pekerja migran dan peedagangan orang mau tidak mau harus mengikuti perintah untuk bekerja meskipun gajinya tidak layak,” tegasnya.
Untuk itu, SBMI Karawang, akan melakukan upaya hukum melaporkan kasus eksploitasi dan perdagangan orang ke kepolisian.
“Kami akan melaporkan kasus tersebut ke Polres Karawang, ” tandasnya.***Rif