Dejurnal.com, Bandung – H. Heri Heryadi nama lengkapnya, tapi lebih akrab dengan sapaan Abah Awie. Panjang ceritanya, kenapa ia akrab dengan sapaan Awie. Sejak SD is sudah tampil bermain musik calung. sedangkan alat musik calung itu terbuat dari bambu, yang dalam bahasa Sunda dinamakan awi. Sehingga jadi popular dengan panggilan Heri Awie. Seiring berjalannya waktu, mengakhiri masa lanjang, berkeluarga, jadi dipanggil Abah Awie.
“Abah dilahirkeun di Bandung 25 Agustus. Sudah tua Abah mah. Cucu juga sudah tiga. Sudah pantas disebut Abah, ” katanya waktu dihubungi di kediamannya, Kp Burujul, Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung belum lama ini.
Ia sedang meneyendiri di ruang yang olehnya dipergunakan untuk kreativitas mendongeng Sunda untuk youtube. Ruangan tersebut sebagai studio rekaman.
“Kalau yang lain rekaman itu di dapur rekaman, Abah mah ngarekam di dapur,” selorohnya sambil tertawa dan menunjukkan mikropon dan perlengkapan rekaman yang ditempatkan di atas meja baca, memang benar membelakangi dapur.
Peralatan itu yang belum genap dua tahun, atau setahun lebih membantu kagiatan Abah Awie “jadi youtuber” mendongeng Sunda.
Apa yang melatarbelakangi Abah Awie mendongeng di youtube? “Ah ini mah ‘efek dogmah aja. Tahu ga apa efek dogmah itu? Efek Ngajedog di imah (efek diam di rumah-pen), ” katanya sambil tertawa lagi.
Awalnya Abah Awie bergurau dengan temannya di facebook, diminta mendongeng. Bah Awie waktu itu mencoba mendongeng. “Tapi sebelum di ke youtubekan Abah mencoba dulu mendongeng sedikit, karena ga mau kalau buikin malu mah. Kalau tidak salah waktu itu ngadongeng Jaka Santang. Terus disebarkan. Eh malah banyak yang mendukung meminta Abah meneruskan. Abah jadi besar hati,” kata Bah Awie.
Dongeng yang sudah ditampilkan di youtube yakni serial silat Si Buntung Jago Tutugan karya S. Sukandar; episode Gumilar, Si Ruyung Kawung, Si Buntung Jago Tutugan, Jaka Santang, dan terakhir Kujang Pusaka.
Dalam menggarap dongeng ini, Bah Awi izin dulu ke penerbitnya Kiblat Buku Utama dan Pustaka Jaya. “Ya Abah mah izin itu ke Pustaka Jaya saja, yang memang sudah ngobrol dengan ahli waris Pa S. Sukandar,” katanya.
Sekarang yang tengah digarap oleh Bah Awie dongeng Silat Waliwis Bodas, masih karya S. Sukandar. Sebelumnya menggarap roman ‘Sumérén Kana Papastén’. Selain itu juga berjalan menggarap roman “Dosa Bapa” karya Eti S yang kata pengantarnya oleh Pak S Karna. Baru beberapa episode. “Jadi ada dua garapan, soré roman, malamnya dongeng Silat,” terang Bah Awie.
Dalam mendongeng, Abah Awie mengalir begitu saja, tidak dihapal dulu. “Malahan kan itu naskah-naskah lama, ada ejaan lama, ditambah hurufnya kecil-kecil. Ya kalau yang mendengar enak, sebab sudah melalui editing. Padahal selagi merekamnya, batuk dulu, ini itu dulu. Sengaja tidak dipause. Makanya kata yang ngedit kok segala bunyi?” kata Abah Awie sembari tersenyum.
Dari ‘éfek dogmah’ jadi kreatif ada kagiatan mendongeng di youtube, diakui Bah Awie, walau materi bukan jadi kejaran tapi ada saja. “Ya itu kan tergantung followers. Kan kalau dulu dongeng di radio lokal. Umpamanya radio di Bandung, ke Cianjur sudah tidak ketangkap sinyalnya. Tapi kalau iklan ada saja. Nah kalau di youtube itu mendunia, tergantung followers, di samping dikasih iklan oleh youtube. Abah belum lama, tapi ada lumayan lah, ” katanya.
Dilihat dari yang nonton, kata Bah Awie kebanyakan menyukai dongeng silat, dibanding roman. Yang nonton di luar negeri, ada orang Sunda yang jadi TKI di Taiwan, Arab Saudi, Jordan, dan lain sebagainya, juga dari luar Jawa Barat.
Dari dongéng yang ditampilkan, banyak pelajaran yang bisa jadi cermin. Apa lagu di carita silat. “Kan dongéng yang digarap Abah carita silat zaman kolonial. Bagaimana
Orang Sunda harus bersyukur karena keinginan merdeka itu banyak halangan dan rintangan yang datangnya justru dari bangsa sendiri. Sampai sekarang ada saja rintangan itu.
Merintis Pasebban
Abah Awie memang sudah tidak muda lagi. Tapi, garis bekas kekreatifannya masih membekas pada ingatan saksi-saksi segenerasi atau di bawahnya.
Tapi diakui Abah Awie, ia lemah dalam arsip. Sehingga waktu ditanya titi mangsa berdirinya Paguyuban Seniman Budayawan Kabupaten Bandung (Pasebban), Abah Awie hanya tersenyum. “Aya ayana mah titi mangsa ngadegna Pasebban di ADART tapi poho deui,” katanya dalam bahasa Sunda.
Niat Abah Awie mendirikan Pasebban, supaya para seniman dan budayawan Bandung kompak. Awalnya yang diinginkan oleh Abah Awie Pasebban itu berdiri dari tingkat Jawa Barat. “Malahan sudah sepakat waktu itu dengan Pa Dany Setiawan. Pasebban itu ada di tingkat Jabar, terus di bawahnya ada Pasebban Kota Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung yang saat itu Bandung Barat belum misah, masih membawahi 45 kecamatan. Tapi karena Pa Dany tidak jadi Gubernur, ya Kabupaten Bandung saja,” katanya.
Dalam memperjuangkan paguyuban ini Abah Awie iklas. Walaupun tidak ada anggaran, demi kamaslahatan, walau harus mengeluarkan kocek sendiri tidak jadi masalah.
Sekarang sudah dua tahun Abah Awie tidak memimpin lagi Pasebban, sudah dipegang oleh kepemimpinan generasi di bawahnya. Tapi Abah Awie dipercaya jadi sesepuh.
Walau sudah tidak terlibat langsung, tapi bekas perjuangannya, berdirinya Gedong Budaya Sabilulungan (GBS) itu karena kemauan Pasebban. Malahan Abah Awie ikut meletakkan batu pertama pembangunan GBS ieu.
Selain itu, Pasebban yang bertahun-tahun sekretariatnya di rumah Abah Awie, sekarang punya sekretariat ditempatkan di di GBS.
Jejak semangat Abah Awie sewaktu muda masih ada yang menceritakan hingga sekarang. Misalkan mengenai organisasi DAGASATYC, satu wadah untuk kaum remaja yang kreatif.
“DAGASATYC itu sebenarnya nama-nama pendiri, tapi sandi asma. Singkatan dari Derap Gerak Suara Anak Yang Cinta, nah di bawahnya ada motto: aktif, kreatif, positif. Ya kegiatannya pada hal-hal yang baik saja,” kata Bah Awie.
DAGASATYC itu jejak ketika Abah Awie masih belia, kemudian aktif di Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS), dan Carakaa Sundanologi. Bah Awie juga pernah ngajar di SMP dan SMA di bidang kasenian, meski latar belakangnya lulusan keuangan.
“Banyak yang meminta aktif di berbagai kegiatan, tapi kalau terlalu banyak repot. Ya kalau di DAGASATYC sudah pada tua, juga tidak ada regenerasinya. Walau demikian terasa mangfaatnnya oleh generasi sekarang. Meski lokal, tapi kegiatannya luas, ” kata Bah Awie.
Dari tahun 1996 sampaii 2001 Abah Awie pernah di Jakarta, bekerja di satu rumah produksi. Di sana Abah Awie membuat beberapa skenario sinetron, dan beberapa kali memerankan tokoh dalam sinatronnya. “Tidak banyak karya-karya Abah, tapi ada lah. Tapi Abah lemah arsip, sehingga lupa, ” katanya.
Selain membuat skenario dan main sinetron juga membuat naskah dan sekaligus main panggung atau longser.
Tapi kepada masalah politik, Abah Awie kurang tertarik. Walau pun waktu tinggal di Desa Margahayu Selatan, Kecamatan Margahayu tidak sedikit yang mendorong dari menjadi kepala desa sampai ke anggota DPRD, malahan kepala daerah. “Pernah Abah diminta menyalonkan di Bandung Barat, tapi Abah ga mau, ” katanya.
Tapi, sejak tinggal di Kecamatan Margaasih, dari tahun1994- an, di tahun 2001. Abah Awie didorong jadi Kepala Desa Mekarrahayu dan terpilih jadi Kepala Desa dari pemekaran Desa Rahayu ini. Waktu itu sedang ada perubahan masa jabatan kepala desa dari 8 tahun ke 5 tahun. Kemudian ke 6 tahun serta daru 2 periode sekarang jadi 3 periode. Bah Awie pernah jadi kepala desa di tahun 2001, 2006, dan 2019. *** Sopandi