Dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah desa cukup besar, mencapai satu milyar lebih. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan dibangunnya berbagai infrastruktur pedesaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mulai dari bidang pendidikan,kesehatan, terutama kegiatan ekonomi produktif untuk penyediaan lapangan pekerjaan di desa dalam upaya mengurangi pengangguran dan urbanisasi. Dengan besarnya anggaran desa mestinya tidak ditemukan lagi ada masyarakat yang tidak memiliki sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK). Jika hal demikian masih terjadi sungguh ironis.
Anggaran yang diberikan kepada pemerintah desa tersebut meliputi anggaran dari pemerintah pusat dengan Dana Desa nilainya mencapai 1 milyar lebih, anggaran dari pemerintah provinsi plus uang kinerja Kepala Desa nilainya lebih dari 100 juta rupiah,dan anggaran dari pemerintah kabupaten melalui ADPD (Alokasi Dana Perimbangan Desa) nilainya lebih dari 300 juta rupiah per tahun. Sejumlah kalangan mempertanyakan,dikemanakan dana sebesar itu? Siapa yang diuntungkan? Selama ini masyarakat belum merasakan imbas dari besarnya anggaran desa yang diterima. Siapa yang menikmati dana tersebut? Lantas perlukah Kepala Desa memiliki pendampingan hukum? Untuk apa? Bukankah itu hanya sebuah senjata agar bisa lolos dari jeratan hukum akibat tindak pidana yang dilakukannya?
Begitu banyak peluang penyimpangan yang bisa dilakukan oleh Kepala Desa terkait dengan penerimaan keuangan desa. Mulai dari manipulasi data,mark-up nilai belanja barang hingga mark-up jumlah RT-pun dilakukan. Semua bisa terjadi dan dilakukan oleh Kepala Desa. Lalu karena itu kah Kepala Desa perlu bantuan hukum? Agar bisa berlindung dibalik kesalahan yang diperbuatnya?
Untuk membahas persoalan ini, redaksi telah menghimpun sejumlah pandangan dan komentar antara lain dari anggota Komisi A DPRD Kabupaten Bandung (Agus Ahmadi),Kepala Desa Mekarrahayu(Hery Awie), dan pengamat masalah sosial pedesaan (Risman Hasibuan).
Agus Ahmadi memandang perlu dilemparnya wacana advokasi tentang pendampingan hukum bagi Pemerintah Desa. “Selaku mantan kades yang sekarang ada di Komisi A DPRD Kabupaten Bandung tentu sangat mendukung terhadap wacana itu.” Kata dia.
Menurutnya, dengan adanya pendampingan hukum bagi Kepala Desa bukan berarti memberi senjata bagi Kepala Desa untuk melakukan upaya rekayasa terhadap program pelaksanaan pembangunan desa. “Bukan itu maksudnya. Pendampingan hukum disini maksudnya adalah bentuk pembinaan hukum. Orang bisa melakukan tindakan yang melawan hukum itu bisa disebabkan karena ketidaktahuan atau memang karena sengaja. Dan itu harus diadvokasi,harus didampingi. Itu yang dimaksud dengan pendampingan disini.” Tandas dia.
Agus menyarankan,soal pendampingan hukum bagi Kepala Desa baiknya dipadukan dengan pihak terkait lainnya seperti BPMPD. “Program tersebut dipadukan supaya sejalan dan biayanya bisa dialokasikan dari anggran pemerintah,tidak dengan biaya sendiri.” Katanya.
Sementara, pengamat masalah sosial pedesaan,Risman Hasibuan, menilai bahwa yang diperlukan untuk Kepala Desa bukan saja masalah pendampingan hukum namun yang lebih penting,menurut dia,adalah melakukan perubahan sikap mental yang menjadi paktor penyebab penyalahgunaan wewenang yang akan mempersulit berkembangnya pembangunan desa. Kemudian,lanjut dia, penyebab paling inti terhadap sulit tercapainya kesejahteraan masyarakat desa karena kurangnya komitmen Kepala Desa terhadap pembangunan (kesejahteraan) itu sendiri.
Menurut Risman tugas Kepala Desa bukan hanya membangun “kantor desa” namun ada yang lebih penting yaitu membangun perekonomian masyarakat desa agar sejahtera.
“Seorang Kepala Desa jangan bangga ketika dirinya berhasil membangun kantor desa. Itu kebanyakan yang menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan desa. Itu keliru! Padahal yang harus lebih diperhatikan oleh Kepala Desa bukan saja membangun Kantor Desa tapi membangun perekonomian masyarakat desa agar bisa sejahtera. Hal ini yang jarang dilakukan oleh Kepala Desa karena tidak adanya komitmen sebagai itikad baik yang diiringi keikhlasan untuk melaksanakan hal tersebut.” Tandas Risman.
Ia mengungkapkan, besarnya anggaran yang dikucurkan oleh Pemerintah,Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten imbasnya tidak akan terasa oleh masyarakat desa jika Kepala Desa tidak amanah.
“Yang diinginkan oleh masyarakat adalah keterbukaan. Menjalankan roda pemerintahan desa sesuai visi misi,dimana disana ada transparansi dan akuntabilitas.” Tandas Risman seraya menegaskan bahwa yang paling perlu dan yang paling penting adalah revolusi mental atau perbaikan akhlak.
Risman setuju dengan apa yang disampikan Direktur Jendral Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementrian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,Ahmad Erani Yustika, yang mengatakan bahwa diberikannya dana desa dari pemerintah pusat harus bisa mendorong lahirnya entrepreneurship di desa untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa.
“Entrepreneurship ini bisa di dorong melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dimana masyarakat nantinya bisa secara mandiri mengumpulkan modal untuk Bumdes dan juga memanfaatkan dana desa secara proporsional. Dari situ kegiatan ekonomi pedesaan digulirkan,” ujar Risman mengutif apa yang disampaikan Ahmad Erani kepada pers saat sosialisasi dana desa pada seluruh kepala desa di Kabupaten Pringsewu,Lampung, pertengahan 2016 lalu. Meski Risman menyayangkan bahwa mayoritas keberadaan Bumdes tidak jalan.
Ia menambahkan,ada sesuatu yang sulit diditeksi tentang penggunaan anggaran desa,yakni anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat(dana desa),pemprov (raksa desa),dan anggaran kabupaten (ADPD().”Realisasi anggaran yang dituangkan di dalam APBDes pada pelaksanaannya banyak direkayasa. Justru disinilah peluang terjadinya penyimpangan. Masyarakat tidak bisa membedakan mana pembangunan yang dibiayai oleh APBD melalui jalur musrenbang,dan mana pembangunan yang dibiayai oleh APBDes yang dibiayai dari ketiga sumber tadi (dana desa,bangub,dan ADPB-red).”Ungkap Risman. (Lili Guntur)***