Oleh : H. RM. Riesta Kuspriyansyah, SH
Kenakalan Anak/ remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan remaja itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan remaja lebih mudah berkembang di daerah perkotaan dari pada di daerah primitif atau di desa-desa. Kejahatan remaja di tingkat kota lebih mudah berkembang karena di daerah perkotaan sangat banyaknya akses untuk mendapatkan semuanya karena tersedianya Toko-toko atau tempat-tempat untuk mereka mendapatkan semuanya. Juga didukung dengan mereka yang memiliki uang banyak lebih gampang untuk membeli apa yang mereka mau, dan pergaulan di daerah kota juga lebih keras dibandingkan dengan di desa-desa. Sedangkan di desa-desa remaja akan lebih susah untuk mendapatkannya dan karena kurangnya akes yang ada di desa tersebut.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan lingkungan sekolah hanya ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Oleh sebab itu baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan kepribadian anak. Semua perbuatan kriminal mereka itu merupakan mekanisme kompensatoris untuk mendapatkan pengakuan terhadap egonya, di samping dipakai sebagai kompensasi pembalasan terhadap perasaan minder. Kriminalitas remaja ini pada umumnya juga adalah akibat dari kegalalan sistem pengontrol diri, yitu gagal mengawasi dan mengatur perbuatan indinktif mereka. Jadi, kejahatan remaja merupakan ketidakmampuan anak remaja dalam mengendalikan emosi primitif mereka, yang kemudian disalurkan dalam perbuatan jahat.
Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan besar dalam menentukan tingkah laku pada anak-anak remaja. Karena itu kejahatan remaja merupakan peristiwa minimnya konformitas anak-anak remaja terhadap norma sosial yang tenagh berlaku. Mereka sangat terpengaruh oleh stimuli sosial yang jahat, sehingga anak menjadi delinkuen (anak-anak yang selalu melanggar aturan). Stimuli sosial yang buruk itu antara lain ialah: lingkungan kelas sosial ekonomi rendah dengan banyak kaum pekerja yang tidak terlatih, kawasan perumahan baru yang tradisional dengan banyak kasus defisiensi mental, invalidisme atau cacat kmental dan jasmaniah, alkhoholisme, dan daerah-daerah rawan sarang ara penajahat, dan lain-lain. Pengaruh lingkungan yang buruk ditambah dengan kontrol diri dengan control sosial yang semakin melemah, dapat mempercepat pertumbuhan gang anak deinkuen.
Masyarakat dengan kebudayaan miskin yang memiliki kepadatan pendududuk tinggi dan sangat minim fasilitas fisiknya, ditambah dengan banyaknya kasus penyakit dan pengangguran, dapat memberikan tekanan-tekanan tertentu, juga memberikan rangsangan kuat kepada anak-anak untuk menjadi delinkuen. Namun disamping itu, dibanyak kota negara-negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, daerah-daerah perkotaan itu juga semakib dipenuhi dengan oknum-oknum kriminal dan anak-anak remaja delinkuen dalam masyarakat dengan subkultur kriminal sedemikian ini, nilai-nilai pemilikan dan martabat manusia tidak begitu dihargai, hingga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma susila, dan bertambah pula kasus kejahatan.
Kita dapat membuat tindakan preventif atau penanggulangan anak-anak remaja dari kenakalan remaja. Kita dapat melakukan antara lain misalnya meningkatkan kesejahteraan keluarga misalnya dengan lebih membagi rata dana yang sudah disediakan, perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampong-kampung miskin, mendirikan bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka, menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja, mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif, pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-anak dan para remaja yang membutuhkan, menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk membangun kontak manusiawi di antara para remaja delinkuen dengan masyarakat luar. Diskusi tersebuta akan sangat bermanfaat bagi pemahaman kita mengenai jenis kesulitan dan gangguan pada diri para pelajar,mendirikan sekolah bagi anak-anak jalanan (miskin), dan lain sebagainya.
Tindakan hukuman yang dapat diberikan bagi anak remaja yang mnyalahi aturan atau yang terjerumus kedalam kejahatan remaja antara lain nerupa: menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil, dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup susila dan mandiri. Tindakan atau usaha penyembuhan anak yang terjerumus kedalam kejahatan remaja antara lain berupa: menghilangkan semua sebab-musabab timbulnya kejahatan remaja, baik yang berupa pribadi, familial, sosial ekonomis dan kultural, melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohai yang sehat bagi anak-anak remaja, memberikan pelatihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib, dan disiplin, dan lain sebagainya. Adanya tindakan-tindakan hukuman yang diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk membuat anak-anak jera untuk melakukannya lagi. Tetapi tidak semu anak emiliki prilaku seperti itu (mudah kapok), terkadang anak yang terlalu binal mereka tetap saja mengulanginya lagi sehingga harus dilakukannya rehabilitasi.
Istilah “anak” saat ini relatif sudah memiliki definisi yang lebih tegas, yakni subjek hukum yang berusia di bawah 18 tahun. Batasan usia 18 tahun ini antara lain ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Batas usia minimal untuk disebut anak bisa sangat rendah, misalnya sejak di dalam kandungan seperti terbaca dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Tentu ada variasi lain soal usia ini, karena dalam beberapa peraturan perundang-undangan, usia anak memiliki batas maksimal 17 tahun, seperti untuk ikut memilih presiden dan wakil presiden (UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) atau untuk memilih di pemiilu legislatif (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Sebaliknya, ada peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas usia lebih ttinggi, yaitu 21 tahun atau 23 tahun. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dinyatakan bahwa hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai umur 23 tahun. Lalu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1949 tentang Pemberian Pensiun kepada Janda (Anak-Anaknya) Pegawai Negeri yang Meninggal Dunia, dicantumkan keterangan bahwa anak yang dapat ditunjuk sebagai yang berhak menerima tunjangan ialah anak-anak yang dilahirkan sebelum dan sesudahnya peraturan ini dijalankan dan belum mencapai umur 21 tahun penuh.
Batas usia minimal untuk bisa disebut dewasa, dengan demikian bisa berbeda-beda sesuai aturan yang digunakan. Batas usia 17, 18, 21, atau 23 tahun di atas, juga tidak mutlak. Apabila sebelum mencapai usia-usia itu ternyata subjek telah melangsungkan perkawinan, maka sejak saat itu juga telah terjadi proses pendewasaan.
Satu hal yang menarik adalah apakah usia anak ini terkait dengan dengan jenis-jenis tindak pidana anak? Ternyata hukum nasional kita tidak memberi penegasan tentang apa saja jenis-jenis tindak pidana anak itu. Semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak, digolongkan sebagai tindak pidana anak. Padahal, seharusnya ada istilah yang dalam bahasa Inggris disebut juvenile delequency. Dulu, istilah ini kerap diterjemahkan sebagai kenakalan remaja. Namun, terminologi “remaja” sepertinya tidak lagi dimasukkan sebagai terminologi hukum positif Indonesia. Artinya, konsep juvenile delequency seharusnya dialihbahasakan menjadi kenakalan anak.
Kata “nakal” dan “kenakalan” tidak dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Juga tidak ditemukan kata-kata tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebagai gantinya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menggunakan istilah “anak yang berkonflik dengan hukum”. Pasal 1 butir 3 dari undang-undang ini menyatakan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Jadi, umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun inilah yang sebenarnya masuk dalam kategori remaja (juvenile).
Jika dilihat dari rentang umur tersebut, maka Anak yang Berkonflik dengan Hukum (selanjutnya disingkat ABH) ini sudah dapat melakukan tindak pidana umum yang tergolong serius di mata masyarakat.
perkembangan teknologi dan kesibukan dari orang tua semakin mengurangi kebersamaan dan perhatian yang diberikan kepada sang anak. Akibatnya kita jumpai berita di televisi adanya pergaulan bebas, kenakalan remaja bahkan ada juga kenakalan yang dilakukan oleh anak kecil yang seharusnya mereka tidak berbuat tindakan itu. Kemudian siapakah yang salah dari kejadian-kejadian itu??? Kita tidak dapat menyalahkan siapapun hanya saja sebaiknya kita intropeksi diri sendiri dan melakukan aksi tindakan untuk mencegahnya walau tindakan yang kecil. Maka dari itu saya berharap anak Anak dan Remaja muda Mudi indonesia bisa menjadi penerus bangsa yang baik dalam pemikiran, tindakan dan menjadi anak muda yang membanggakan.***
*) Penulis Ketua Birbakum, tinggal di Kabupaten Garut