Sabtu, 27 Juli 2024
BerandadeHumanitiOpiniKitaUrgensi Moralitas Pejabat Publik Di Tengah Pandemi Covid-19 Dipertaruhkan

Urgensi Moralitas Pejabat Publik Di Tengah Pandemi Covid-19 Dipertaruhkan

Oleh : Ade Burhanudin *)

Beberapa pekan ke belakang masyarakat umum Garut diduga sempat di hebohkan oleh prilaku salah satu Wakil Ketua Pimpinan DPRD Kabupaten Garut. Moralitas Publik yang amoral, dan menambah catatan buruk di kantong demokrsi bangsa dewasa kini.

Banyak fakta yang diungkap di berbagai media bahwa dugaan salah satu pimpinan anggota DPRD Garut telah melakukan ancaman pembunuhan serta pelecehan terhadap seorang perempuan. Penulis sangat prihatin, dan sampai saat ini permasalahan ini belum di tindak tegas oleh Badan Kehormatan Dewan

Moralitas pejabat publik di pertaruhkan, situasi pandemi covid-19 harusnya menjadikan prilaku para pimpinan maupun anggota DPRD Garut semakin peka untuk mengasah rasa sosial bukan menambah citra buruk.

BK harus bersikap, kalau tidak ingin rakyat menjadi korban daripada kebijakan yang kurang bermoral, karena ada contoh yang tak baik. Lemahnya Etika Pejabat Publik, dikarenakan kurang tegas dan lambannya Badan Kehormatan (BK) Dewan dalam merespon Kegelisahan dan sumber informasi pubkik.

Bagaimana kita bisa menyoroti perilaku pejabat publik yang tidak bermoral? Perilaku maupun tindakan tersebut sebenarnya telah menodai bahkan menghancurkan etika pejabat publik itu sendiri. Karena suatu tuntutan etika pejabat publik adalah berbuat baik, berkata benar, dan jangan berbohong atau menyimpang dari kebaikan yang sesuai dengan norma-norma masyarakat yang di jungjung tinggi.

Ketika sebuah etika diartikan sebagai sebuah bentuk kepatuhan terhadap tata aturan serta norma-norma kebaikan dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sering pula etika juga diartikan sebagai bersikap dan berbuat untuk kebaikan yang dilandasi oleh watak dan karakter yang juga baik (virtues).

Berbohong, melakukan ancaman, dan korupsi adalah perilaku yang bertentangan dengan kebaikan itu. Sekaligus berbohong, membuat ancaman, tidak memghargai seorang perempuan adalah bibit korupsi dan kejahatan sosial.

Seorang filsup Plato menyebut ada empat virtues (kebaikan) pokok, yaitu: cermat dan tidak gegabah (prudence), berani, sabar dan mampu mengendalikan diri (temperance), dan adil.

Empat kebaikan ini yang harus di pegang ataupun menjadi acuan serta pegangan seorang pimpinan maupun anggota Dewan.

Thomas Aquinas pun sepakat dengan Plato, tetapi menambahkan empat ciri lagi yaitu: Jujur, gentleness (sportif, sopan, dan lembut), bersahabat, dan magnaminity (menjaga integritas, adil dan tidak mementingkan diri sendiri).

Budaya Jawa mempunyai virtues tambahan lagi, antara lain yaitu tepo seliro, tidak adigung adiguno (tidak tinggi hati dan sewenang – wenang menggunakan kekuasaan)

Falsafah mana pun yang dianut, syarat perbuatan etis adalah: tidak mementingkan diri sendiri di atas kepentingan orang lain, tidak sewenang -wenang, adil, jujur dan untuk kebaikan orang banyak. Atau kalau menurut Immanuel Kant, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak menggunakan orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan (pribadi). Seharusnya orang lain itulah menjadi tujuan berbuat baik.

Penganut paham utilitarianisme juga sepakat bahwa yang penting agar suatu perbuatan dapat disebut etis jika perbuatan itu ditujukan untuk kebaikan masyarakat yang lebih luas. Agama Islam pun mengajarkan “nilai sebuah perbuatan itu ada pada niatnya”.

Karena etika mengandalkan kepada itikad, memang menjadi sulit untuk menilai etis tidaknya suatu perbuatan, kecuali dari kepatuhan terhadap aturan yang telah disepakati. Aturan yang disepakati, seperti dalam kampanye dengan apa yang disebut dengan kontrak politik. Sehingga, siapa pun pemimpin yang menyalahi kontrak politik, ia telah melanggar etika pejabat dan moralitas politik.

Martabat seorang pejabat negara atau pejabat publik ditakar dari sejauh mana dia memegang janji politik dan menjaga etika dan moralitas pejabat negara. Sehingga, tatkala seorang pemimpin diteriaki pembohong dan pendusta oleh rakyat, maka martabatnya jatuh ke taraf lebih rendah dari rakyat yang meneriakinya.

Itulah perih dan pedihnya hati pemimpin yang diteriaki tersebut. Di situ pulalah risiko yang ditanggung oleh seorang pemimpin saat dirinya memutuskan untuk maju sebagai pemimpin rakyat pada jabatan yang diinginkan. Perwujudan Pertanggungjawaban Moral harus di pertaruhkan di tengah pandemi covid-19.

Panggung politik dan kekuasaan yang dipertontonkan oleh para pejabat publik baik khususnya pimpinan di legislatif maupun di eksekutif seperti yang disoroti ini maupun lainnya, rasanya sangat jauh dari harapan masyarakat hari ini. Politik yang korup dan membohongi rakyat sesungguhnya mempertontonkan watak buas dan licik serta egoistik, sebagai sahabatnya.

Machiavelli, politikus Italia. Politik ala Machiavelli adalah politik menghalalkan segala cara, atau politik tanpa moral, alias demi kekuasaan, persetan dengan moral. Lalu, bagaimana? Jawabannya yang paling sederhana adalah para pejabat publik negara harus segera memperbaiki moral politik dan etika pejabat publik. Komitmen moral politik harus segera dibangun, dan etika pejabat politik harus dikembangkan tanpa kompromi.

Jika tidak, maka jawaban yang paling pas adalah segera mundur sebagai pejabat publik sebelum diteriaki turun dari singgasana kekuasaannya baik oleh rakyat yang telah memberi mandat kepemimpinan atau oleh pejabat hierarki yang mengangkatnya. Semua itu merupakan bentuk pertanggungjawaban moral pejabat publik. Mundur dari jabatan karena merasa bersalah, bukanlah aib, melainkan tanda satria.

Dan masyarakat sampai kapan pun akan terus menunggu diwujudkannya pertanggungjawaban moral pejabat publik oleh Badan Kehormatan.

*) Penulis Ketua Komunitas Pemuda Pelopor Kabupaten Garut

Anda bisa mengakses berita di Google News

Baca Juga

JANGAN LEWATKAN

TERPOPULER

TERKINI