Dejurnal.com, Ciamis – Pengusaha penggilingan padi di Ciamis kini kian meronta, pasalnya para pengusaha padi kebingungan dalam hal pemasaran.
Padahal saat ini para petani tengah memasuki musim panen, namun dalam hal produksi beras mengalami penurunan lantaran kalah bersaing dalam hal pemasaran.
Program Bantuan dari pemerintah pusat semisal program Bantuan Pangan Non Tunai tak memberikan dampak manfaat lebih dalam hal pemberdayaan pada penggilingan padi lokal. Padahal, ada sekitar 125.000 keluarga penerima manfaat (KPM) BPNT yang diberi bantuan di Ciamis. Namun, penggilingan padi lokal banyak yang tidak terakomodir dan tidak dilibatkan atau diberdayakan dalam program tersebut.
Salah satu pemilik penggilingan padi lokal Ahda Islami Nur yang beralamatkan di Dewasari Kecamatan Cijeunjing Kabupaten Ciamis membenarkan hal itu. Ia mengatakan di masa covid-19 produksi beras yang ia kelola cenderung menurun.
“Semenjak covid hanya memproduksi sekitar satu ton perbulan. Beras yang saya produksi merupakan padi dari petani langsung,” akunya dihadapan beberapa wartawan ketika dijumpai di gudang penggilingan padi miliknya, Rabu (31/3/2021).
Ia mengatakan bahwa harga eceran beras yang ia jual dengan cara tradisional dan konvensional berkisar sebesar 8.600 rupiah untuk kategori beras medium, dan 9.500 rupiah per kilogram dengan kualitas premium.
Padahal diketahui pada program BPNT untuk harga komoditi beras cukup lumayan menguntungkan apabila ia dapat menjadi pemasok.
Rata-rata agen e-waroeng di Ciamis membeli beras dari pemasok atau pihak ke tiga adalah berkisar sebesar 11.500 rupiah.
“Selama tujuh tahun heleran ini berdiri, tidak pernah sekalipun dilibatkan atau difasilitasi oleh pemerintah. Bahkan penyuluh pertanian pun belum sekalipun memberikan arahan dalam hal pemasaran, seandainya program itu memberikan kesempatan peluang bagi saya, saya pun mau dan siap untuk memasok beras kepada e-waroeng,” paparnya.
Hal yang sama dirasakan Undang Hendra Budiman pemilik penggilingan padi di Desa Pamalayan yang tak sekalipun pernah dibantu dalam hal pemasaran oleh pemerintah. Menurutnya para pengusaha lokal terjegal oleh para pengusaha-pengusaha besar yang notabanenya beras yang mereka datangkan bukan merupakan beras lokal.
“Saya pernah dengar soal bantuan BPNT dan tetangga saya merupakan seorang KPM. Jika dilihat dari segi kualitas berasnya, beras saya tentunya tak kalah saing. Belum pernah sekalipun ditawari oleh pihak terkait untuk pengadaan beras untuk bantuan tersebut,” ungkapnya.
Ia berharap, sebagai sesama warga Desa Palayan ia menginginkan dilibatkan, pasalnya semenjak ada bantuan BPNT produksi beras miliknya menjadi menurun.
“Selama 12 tahun tidak pernah dilibatkan, BPNT pun malah menyaingi beras lokal saya. Padahal dilihat di struk para KPM saya lihat harga beras sangat mahal sekitar sebesar 12 ribuan. Sedangkan saya mengeluarkan harga berkisar 8500 sampai 9500 rupiah dengan kualitas yang sama bahkan lebih bagus lantaran beras yang saya olah merupakan padi baru hasil panen dari petani sekitar,” bebernya.
Di tempat terpisah Camat Cijeunjing Iyus Sunardi yang termasuk Tim Koordinasi (Tikor) dalam program BPNT akan bergegas untuk membenahi permasalahan tersebut. Ia yang baru menjabat sekitar satu bulan sebagai Camat di Cijeunjing, akan berupaya dengan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.
“Meskipun baru menjabat di sini, saya akan segera berkoordinasi. Selain itu, saya akan mempelajari terlebih dahulu pedoman umum (pedum) BPNT ini, agar para pengusaha lokal dapat terakomodir, besok saya langsung rapat kerja dengan semua kepala desa,” ungkap Camat ketika diwawancara di Kantor Kecamatan Cijeunjing.
Ia mengatakan bahwa tujuan utama BPNT di dalamnya jika memang ada poin yang mengatakan bahwa pemberdayaan lojal harus diutamakan, maka pihaknya akan memperjuangkan hal tersebut.
“Namun kita tetap harus tempuh aturan, maka saya akan mempelajari dulu dan besok dalam rapat dengan para kades saya akan diskusi secara mendalam,” ujarnya.***Jepri Tio