Oleh : Apar Rustam Ependi (Ketua SEGI Garut)
Rangkaian terakhir dari kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah memastikan siswa yang telah dinyatakan lulus secara sungguh-sungguh dan benar benar siap mengikuti menu kegiatan di sekolah yang telah menyatakan mereka diterima. Hal ini penting, guna untuk pemetaan selanjutnya pada satuan pendidikan.
Proses daftar ulang ini biasanya dengan menyertakan sejumlah dokumen administrasi sebagai bahan manajemen informasi siswa baru pada satuan pendidikan.
Seyogyanya dalam proses daftar ulang janganlah dipakai sarana dengan “modus uang” artinya dimanfaatkan sebagai momentum daftar dengan menyetor sejumlah uang.
Bahwa telah diingatkan melalui surat edaran Mendikbud, Peraturan Gubernur Jawa Barat serta Juknis PPDB yang diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang mengisyaratkan bahwa proses PPDB sama sekali jangan dikaitkan dengan uang sumbangan, bantuan, pungutan ataupun penjualan pakaian yang “lazim” dilaksanakan.
Bagi pelanggar ketentuan ini, pemerintah telah menyiapkan sanksi administratif mulai dari teguran, surat peringatan, bahkan sampai pada pemberhentian sebagai kepala satuan pendidikan.
Dari dimensi hukum, “daftar uang” yang tidak sesuai dengan ketentuan berpotensi sebagai pungutan liar (pungli). Apapun modusnya, apapun argumentasi, ketika ada pungutan dan atau sumbangan yang tidak sesuai dengan aturan, tentu kepala satuan pendidikan harus bersiap siap untuk berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum.
Bahwa harus dipahami bersama, pendanaan pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah no 48 tahun 2008, dan Permendikbud no 75 tahun 2016.
Pendidikan berkualitas akan terwujud manakala terbangun sinergitas peran aktif masyarakat dalam pendanaan pendidikan.
Jika dihitung dalam rentang waktu 3 tahun, biaya pendidikan yang turut serta ditanggung oleh masyarakat saat ini “sangatlah murah”. Nominal kumulatif yang biasa dibebankan pada orang tua siswa baru untuk hitungan selama masa pendidikan, jika dibagi kedalam tiap tahun, dibagi lagi tiap bulan, apalagi dibagi lagi tiap hari, tentu sangatlah murah. Masih jauh lebih murah jika dibandingkan dengan sebungkus rokok yang mampu dibeli setiap harinya, atau beban kuota keluarga yang rutin menjadi belanja tetap keluarga.
Seyogyanya kalau pendanaan pendidikan ini diatur menjadi bagian program keluarga secara terencana, mestinya tak ada lagi stigma bahwa biaya pendidikan itu mahal, karena kalau dibagi menjadi beban harian, tentu masih lebih mahal sebungkus rokok dibanding biaya pendidikan.
Untuk menarik peran aktif masyarakat dalam pendanaan pendidikan, tentunya sekolah wajib menawarkan program sekolah, baik berupa program menengah atau program tahunan.
Program sekolah tersebut dikemas dalam sejumlah rencana kerja sekolah. Dari rencana kerja inilah akan tergambar, kebutuhan, potensi bantuan dari pemerintah serta defisit yang ditanggung sekolah untuk dikonsultasikan ke masyarakat dalam hal ini orang tua siswa.
Pada momentum inilah tepatnya sataun pendidikan mengkomunikasikan dan bersama sama dengan orang tua merumuskan apa proramnya, berapa pendanaannya, menjadi tanggungjawab siapa dan kapan harus terealisasi.
Dengan pola seperti ini maka akan terpisahkanlah istilah daftar ulang, sehingga tidak terpeleset menjadi daftar uang.
*) Penulis Ketua Serikat Guru Indonesia, tinggal di Kabupaten Garut