Oleh : Oos Supyadin, SE., MM. *)
Sebagai Panitia Pengusung RA Lasminingrat menjadi Pahlawan Nasional, penulis tertarik pada sebuah tulisan dari Fandy Hutari, dan menganggap layak menyajikannya kembali dimomentum Hari Pahlawan ini seiring keinginan kuat Bupati Kabupaten Garut menjadikan RA Lasminingrat sebagai Pahlawan Nasional.
Perempuan selalu menjadi inspirasi zamannya, semisal kisah Jeanne d’Arc pada abad ke-15 di Perancis. Ia berhasil menjadi inspirasi semangat kebangsaan Perancis saat negara itu diduduki Inggris. Setelah dianggap menyebar ilmu sihir dan dibakar hidup-hidup oleh Inggris, ia lalu dinobatkan sebagai orang suci.
Kisah diatas mengingatkan pada seorang sosok perempuan Sunda yang tampaknya luput dari perhatian dan penilaian khazanah sejarah Indonesia. Padahal, secara literasi sejarah tokoh ini banyak mengguratkan inspirasinya dan menorehkan prestasinya, jauh sebelum Kartini (1879) dan Dewi Sartika (1884) lahir.
Ia adalah Raden Ayu Lasminingrat alias RA Lasmingrat. Banyak penulis sejarah dan kesastraan yang menyebutnya sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia, baik intelektual dalam kesusastraan (kepenulisan/kepengarangan) maupun intelektual dalam hal pendidikan khususnya bagi kaum perempuan.
Saat getir dan tertindasnya bangsa ini beratus tahun dijajah, justru sosok seorang RA Lasmingrat sudah sangat peduli nasib kaum hawa bangsanya sendiri, khususnya perempuan Sunda. Mengulas ketokohan RA Lasminingrat, rasanya penting menjelang peringatan Hari Pahlawan Nasional ini, yang setiap tanggal 10 Nopember selalu diperingatinya oleh seluruh bangsa Indonesia.
Intelektual dalam bidang kepengarangan dan penulisan RA Lasminingrat rupanya diwarisi dari ayahnya Raden Haji Moehammad Moesa, seorang perintis kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama dan kepala penghulu agama, dan tokoh Sunda pada pertengahan abad ke-19. RA Lasminingrat diperkirakan lahir di Garut pada tahun 1856. Lasminingrat kecil harus berpisah dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk belajar membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa Belanda.
Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya. Pada 1871 ia kembali dan menetap di Pendopo Kabupaten Garut.
Dan pada tahun itu pula, RA Lasminingrat memulai menulis sendiri beberapa buku berbahasa Sunda yang ditujukan untuk anak-anak sekolah. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ungkapan ini serasa pas untuk menggambarkan bakat menulis Lasminingrat yang menurun dari ayahnya. Adik Lasminingrat, yaitu Kartawinata, juga dikenal sebagai seorang penulis Sunda. Buku-buku RA Lasminingrat merupakan buku untuk anak-anak sekolah, baik karangannya sendiri maupun terjemahan.
Lalu berikutnya pada tahun 1875 RA Lasminingrat menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin.
Setelah karya tersebut, RA Lasminingrat berikutnya pada tahun 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian, lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912, dalam aksara Jawa dan Latin.
Bukti sejarah ini, sungguh mencengangkan jika kita berkaca pada banyaknya eksemplar cetak mengingat pada masa kini saja, sebagian besar penerbit buku hanya mencetak buku sebanyak 1.500 sampai 3.000 eksemplar untuk terbitan pertama. Tidak dibayangkan, bagaimana bisa karyanya laku keras, sedangkan pada masa itu mungkin masyarakat pribumi masih banyak yang buta huruf. Yang lebih mencengangkan lagi, karya-karya Lasminingrat mengalami cetak ulang berkali-kali. Sekali lagi ini sungguh luar biasa.
Terobosan baru yang dicapai Lasminingrat di dunia kepengarangan adalah penggunaan kata ganti orang pertama. Mikihiro Moriyama dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, mencatat bahwa RA Lasminingrat merupakan penulis pribumi pertama menggunakan kata ganti orang pertama dalam tulisan berbahasa Sunda. RA Lasminingrat, tulis Mikihiro, memakai kata kula yang merujuk kepada saya dalam kata pengantar bukunya Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng yang terbit pada 1876. Buku ini merupakan kumpulan berbagai macam karya terjemahan.
Berikutnya, intelektual dalam bidang pendidikan setelah menjadi istri Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, RA Lasminingrat mengurangi aktivitas kepengarangannya. Ia lalu berkonsentrasi di bidang pendidikan bagi kaum perempuan Sunda (Moriyama, 2005: 243). Sejak kecil Lasminingrat bercita-cita memajukan kaum hawa melalui pendidikan. Obsesinya ini terwujud pada 1907.
Pada tahun 1907, RA Lasminingrat mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kabupaten Garut. Di sekolah ini RA Lasminingrat sudah menerapkan sistem kurikulum dalam bidang pendidikan yang digagasnya. Tidak disangka, pada 1911 sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas dibangun di sebelah pendopo.
Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada tahun 1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun di kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.
Di sekolah Keutamaan Istri, murid-muridnya diajari cara memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan segala hal yang ada hubungannya dengan kehidupan berumah tangga. Tujuannya, supaya kelak saat dewasa dan menikah, mereka bisa membahagiakan suami dan anak, juga mengerjakan sendiri apa saja yang berhubungan dengan rumah tangga.
Lasminingrat dikenal sebagai sosok yang peduli terhadap orang lain. Dalam catatan sejarah, ia merupakan salah seorang tokoh yang mendukung Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan pada 1904.
Ini berawal saat Dewi Sartika kesulitan dalam meminta izin kepada Bupati Bandung RAA Martanagara untuk mendirikan sekolah. Bupati selalu menolak maksud Dewi Sartika tersebut. Bukan tanpa alasan Bupati Bandung menolak keinginan Dewi Sartika.
Menurut sejarawan Universitas Padjadjaran, Prof Nina Herlina Lubis, dalam bukunya Kehidupan Kaum Menak Priangan, ayah Dewi Sartika diasingkan ke Ternate lantaran dituduh terlibat percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung dan pejabat Belanda di Bandung, pada usianya yang baru sembilan tahun. Karena peristiwa itu, Bupati Bandung menganggap Dewi Sartika adalah anak musuh politiknya. Maka dari itu, permintaannya selalu ditolak.
Melihat hal ini, RA Lasminingrat turun tangan dengan bantuan suaminya. Ia meminta suaminya memberikan saran kepada Bupati Bandung agar maksud Dewi Sartika yang akan mendirikan sekolah terkabulkan. Setelah berbicara dengan RAA Wiratanudatar VIII, Bupati Bandung memberi izin kepada Dewi Sartika. Atas andil dan peran RA Lasminingrat pula maka pada Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya mendirikan Sakola Istri di Bandung. Lasminingrat dan Dewi Sartika memang sering kali berhubungan layaknya seorang ibu kepada anak. Mereka terutama saling memberikan dukungan perjuangan untuk memajukan kaum perempuan.
RA Lasminingrat dikarunia usia yang sangat panjang. Ia meninggal dunia pada 10 April 1948, setelah sebelumnya dalam perang kemerdekaan ia mengungsi ke Waaspojok pada 1946. Ia sempat tinggal di sana beberapa lama. Hingga akhirnya ia sakit dan mengembuskan napas terakhir di tanah kelahirannya, Garut.
Kalau RA Kartini dijuluki sebagai pahlawan emansipasi dan Dewi Sartika sebagai tokoh pendidikan, tidak berlebihan jika RA Lasminingrat dijuluki sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia karena pikiran-pikiran kritis dan modernnya telah melampaui zamannya.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi inspirasi di Hari Pahlawan.
Selamat Hari Pahlawan…
*) Penulis merupakan Ketua Panitia Pengusung RA Lasminingrat menjadi Pahlawan Nasional yang dilantik Bupati Garut pada tanggal 3 Juni 2021 atas Surat Keputusan TP2GD Kab Garut Nomor: Kep.03/TP2GD/V/2021 tanggal 20 Mei 2021.