CIAMIS,- Berdasarkan data tahun 2022, tercatat 5.523 kasus pernikahan anak di Jawa Barat sehingga Jawa Barat merupakan Provinsi ketiga terbesar kasus pernikahan anak di indonesia.
Dengan itu Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Ciamis bersama Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Ciamis menggelar Sosialisasi STOP Pernikahan Anak di Gedung Puspita Ciamis, Kamis (14/11/2024).
Ketua GOW Kabupaten. Ciamis, Hj. Talbiah Munadi menjelaskan Sosialisasi ini dilakukan dengan tujuan memberikan edukasi kepada orangtua khususnya para ibu untuk mencegah pernikahan dini dengan memberi pemahaman tentang dampak dari pernikahan pada usia dini yang dapat merugikan remaja.
“Dampak dari pernikahan anak itu yang jelas adalah belum siapnya si anak baik itu dari usia segi fisik maupun dari segi sandang pangan dan papan,” ucapnya.
Lebih lanjut Talbiah mengajak semua lapisan masyarakat dan instansi terkait agar bersama-sama melakukan pencegahan dan monitoring pada pernikahan anak.
“Sampai hari ini kita juga perlu ada kerjasama dengan dinas yang terkait yang menikahkan dimulai dari (KUA) Kantor urusan agama di kementerian agama disanalah pernikahan dicatat dan disyahkan,” ujarnya.
“Kita lakukan kerjasama pertama bisa dengan mencari data anak yang mau dinikahkan jika terdapat anak yang dibawah usia yang di anjurkan harus minta dispensasi agar setelah pernikahan harus menunda dulu untuk mempunyai anak bisa dengan pemakaian alat kontrasepsi atau lainnya,” tambahnya.
Talbiah mengungkapkan peserta sosialisasi terdiri dari para anggota kewanitaan se-Kabupaten Ciamis.
“Peserta yang hadir sekarang sebanyak 150 orang semua organisasi hadir meskipun perwakilan saja ada yang mengirimkan tiga orang, dua orang bahkan ada yang hanya satu orang dari organisasi tetapi inilah bentuk kekompakan kami, mudah-mudahan harapan kedepannya, hari esok akan lebih baik lagi,” harapnya
Hadir memberikan sambutan Pj. Ketua TP PKK Iis Cahyaningsih menyampaikan jika kemajuan teknologi digital telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia.
“Akan tetapi tidak dipungkiri teknologi pun membawa dampak negatif, termasuk kepada anak-anak yaitu makin mudahnya mereka memperoleh hal-hal buruk yang belum sesuai dengan usianya, seperti halnya pornografi, hal ini sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir dan pola pergaulan mereka sehingga banyak terlibat dalam pergaulan bebas,” jelasnya.
Lebih lanjut Iis menyampaikan bahwa tidak hanya dampak kemudahan akses teknologi saja menjadi pemicu terjadinya pernikahan anak tetapi masih banyak alasan lainnya seperti faktor sosial budaya, agama, lingkungan dan pandangan orang tua.
“Ada banyak risiko yang dihadapi seorang anak ketika menjalani perkawinan dalam usia muda, terutama masalah kesiapan fisik, psikis dan ekonomi pernikahan anak telah mengancam terpenuhinya hak-hak dasar anak, karena pernikahan anak tidak hanya memberikan dampak bagi fisik dan psikis anak, namun juga dapat memperparah angka kemiskinan, meningkatkan risiko angka kematian ibu dan bayi, meningkatkan risiko stunting, terjadinya penularan infeksi menular seksual dan kekerasan pada mereka oleh sebab itu mari kita bergerak bersama mencegah pernikahan anak ini,” tegasnya.
“Saya juga himbau kepada semuanya untuk memaksimalkan 8 fungsi keluarga, terutama fungsi gama, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi sosial budaya, memaksimalkan kinerja TPK (Tim Pendamping Keluarga), mensosialisasikan kepada para remaja mengenai pentingnya mereka sebagai generasi berencana yang mempersiapkan kehidupan berkeluarga,” tambahnya.
Iis berharap dengan sosialisasi “STOP Pernikahan Anak di Jawa Barat” ini akan meningkatkan wawasan dan kesadaran, para kaum ibu, untuk bersama-sama mencegah terjadinya pernikahan anak, terutama di Tatar Galuh Ciamis.
Tidak lupa pula Iis memberikan tips 9 nilai anti korupsi, yang dapat disingkat dengan “Jumat Bersepeda KK” yaitu:
JU = Jujur, MA = Mandiri, T = Tanggung Jawab, BER = Berani, SE = Sederhana, PE = Peduli, D = Disiplin, A = Adil, KK = Kerja Keras
Kepala Dinas P2KBP3A, Dian Budiana sekaligus pemberi materi menyampaikan masalah perkawinan anak berpengaruh terhadap kesehatan anak baik ibunya ataupun anak yang dikandung.
“Intinya karena rata-rata pelaku perbaikan anak ada direntang usia yang belum memasuki masa reproduksi sehat, sehingga sangat berpengaruh pada kehamilan termasuk janin yang dikandungnya tidak berkembang dengan baik atau sehat,” ucapnya.
Budi mengungkapkan walaupun berdasarkan anjuran undang-undang usia minimal pernikahan adalah 19 tahun bagi pria dan wanita tetapi diharapkan pernikahan dilaksanakan dalam rentang usia yang sehat untuk bereproduksi 21 tahun untuk wanita 25 tahun untuk pria.
“Dengan menikah di usia yang masa reproduksi baik maka akan melahirkan generasi yang baik pula untuk masa depan sehingga dapat mencegah stunting pada anak juga mengurangi resiko angka kematian pada ibu,” ungkapnya
Budi memaparkan jika harus ada kolaborasi bersama instansi lainnya untuk pencegahan pernikahan anak.
“Tiap instansi harus dibekali ilmu tentang bahaya pernikahan anak dan semua instansi harus turut serta karena kita tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat contohnya masyarakat pendidikan berarti ada Dinas Pendidikan yang diberi tanggung jawab, masyarakat religi ada di lembaga-lembaga keagamaannya, nah kita juga sebenarnya sudah melakukan beberapa kerjasama dengan Pesantren tentang penyuluhan dan perkawinan semoga kedepannya bisa semua lapisan terangkul,” pungkasnya. (Nay)**