Dejurnal.com, Bandung – Jalur Kereta Api Garut-Cikajang merupakan bagian pembangunan jalur kereta api Cibatu-Garut-Cikajang di Priangan di masa Hindia Belanda, termasuk kepada pembangunan jalur cabang atau jalur simpang. Sementara jalur utama merupakan jalur lintas raya yang dibangun dari barat hingga timur membelah kota dan daerah yang ada di Priangan seperti Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, serta Ciamis.
Dimasanya, pengerjaan jalur kereta api Garut-Cikajang termasuk memakan waktu lama, terhitung dari tahun 1921 sampai 1930. Betapa tidak, jalur Kereta api dengan panjang 28 km ini melintasi pegunungan.
Kondisi geografis berbukit dengan lembah yang dalam dan luas memerlukan jalur rel berkelok-kelok dan berliku, pembangunan jembatan untuk melintasi sungai dan lembah, serta penggalian dan penimbunan tanah untuk menjadikan jalur tersebut landai dan dapat dilalui oleh kereta api, membuat pembangunan jalur kereta api Garut Cikajang memerlukan waktu hampir 9 tahun.
Kendati demikian, pembangunan jalur kereta api Garut-Cikajang harus dirampungkan karena merupakan jalur yang penting untuk distribusi hasil bumi di Garut terutama Garut bagian Selatan yang memang terdapat banyak perkebunan teh milik perseorangan yang berasal dari luar.
Segmen jalur kereta api Cibatu-Garut–Cikajang dimulai dengan menyeberangi Ci Manuk di barat laut Stasiun Garut. Jalur kemudian berbelok dan menanjak ke barat hingga Stasiun Cireungit.
Selepas Cireungit, jalur berbelok ke selatan dan menanjak dengan kemiringan maksimum hingga 40‰ sebelum sampai di Stasiun Kamojan yang memiliki elevasi 921,9 meter di atas permukaan laut.
Menuju Cioyod, jalur relatif datar, bahkan sedikit menurun hingga elevasi 921,9 meter. Setelah melalui Stasiun Bayongbong, jalur memasuki segmen berkelok-kelok sepanjang 6,5 km.
Untuk menyeberangi lembang Ci Manuk yang dalam di selatan Stasiun Cisurupan, jalur kereta sempat sedikit menurun sebelum kembali menanjak dengan jarak horizontal sejauh 700 meter. Jalur kereta api berakhir di Stasiun Cikajang yang memiliki ketinggian +1.246 meter diatas permukaan laut.
Stasiun Cikajang adalah stasiun terakhir Stasiun ini merupakan stasiun tertinggi di Indonesia, sehingga kereta api harus melewati tanjakan panjang setelah Stasiun Garut untuk mencapainya. Lokasinya berada di Perkebunan Cisurupan, dekat dengan Gunung Cikuray dan Pasar Cikajang.
Peresmian Stasiun Cikajang dilakukan bersamaan dengan pembukaan jalur Cibatu-Garut-Cikajang pada tanggal 1 Agustus 1930 oleh Staatspoorwegen (SS). Upacara ini dihadiri oleh perwakilan dari Gouvernement Bedrijven Bandung, Residen Priangan Timur, dan Bupati Garut.
Tranportasi kereta api jalur Cibatu-Garut-Cikajang beroperasi sampai tahun 1980-an, bahkan di tahun 1970-an jalur ini mencapai masa kejayaan karena banyak didokumentasikan oleh pecinta-pecinta kereta api luar negeri.
Sementara itu, lokomotif yang dipakai untuk jalur ini berupa lokomotif mallet bermassa besar seperti DD52, CC10, D14, atau CC50, semuanya dari peninggalan SS. Sejak era kejayaannya, kondisi lokomotif uap yang melayani jalur ini mulai turun dan satu persatu pun pensiun.
Karena sudah tidak ada lagi lokomotif yang siap beroperasi, ditambah dengan adanya letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982, yang mengakibatkan sarana serta prasarana kereta rusak serta adanya abu vulkanik yang berdampak pada air yang digunakan untuk lokomotif uap, maka jalur segmen Garut-Cikajang ditutup pada tahun 1982 dan segemen Cibatu-Garut ditutup tahun 1983.
Sejak jalur ini ditutup, trase jalur ini kebanyakan menjadi sawah dan perkebunan, sebagian lagi dipakai pemukiman penduduk terutama trase yang terletak dekat kota.
Untuk mendukung pariwisata Jawa Barat, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI memberikan hak konsesi yang berlaku 30 tahun kepada PT Kereta Api Indonesia untuk melakukan reaktivasi dan mengoperasikan jalur kereta api ini. Pada 26 September 2018, Edi Sukmoro, Dirut PT KAI, meninjau kondisi jalur kereta api Cibatu-Garut-Cikajang sebelum dilakukan proses reaktivasi, dengan menelusuri jalur rel mati tersebut menggunakan sepeda motor.
Jalur rel yang sudah mati tersebut sebagian masih utuh, serta sebagian lainnya telah padat oleh permukiman penduduk terutama di Kecamatan Garut Kota. Reaktivasi ini menjadi proyek percontohan reaktivasi jalur kereta api mati lainnya.
Reaktivasi kemudian dilakukan dengan penggantian rel R25 dan bantalan kayu/baja yang selama ini terkubur di dalam tanah dengan rel tipe R42 dengan bantalan beton, lalu sinyal tebeng “Krian” yang selama ini digunakan juga diganti dengan sinyal mekanik tipe Siemens & Halske semiotomatis, serta peningkatan fasilitas di setiap stasiunnya.
Dua stasiun antara dipilih untuk dihidupkan kembali, yaitu Pasirjengkol dan Wanaraja. Satu unit sinyal tebeng “Krian” di dekat viaduct Ciwalen juga telah dipreservasi berkat kolaborasi PT Kereta Api Indonesia (Persero), Indonesian Railway Preservation Society, dan Yayasan Kereta Anak Bangsa.
Pada tanggal 29 September 2019, dilakukan uji coba di segmen pertama, Cibatu–Wanaraja, dengan menggunakan Lokomotif CC201, setelah sebelumnya dilakukan pemadatan. Uji coba kembali dilakukan menggunakan kereta api angkutan kricak. Sementara itu, Kereta Inspeksi 3 yang membawa jajaran direksi PT KAI turut melakukan kunjungan dalam rangka uji coba. Beberapa waktu kemudian, dilakukan kegiatan bakti sosial yang diselenggarakan oleh kereta api Rail Clinic di Stasiun Wanaraja.
Pertengahan Januari 2020, reaktivasi jalur kereta api segmen kedua (Wanaraja–Garut) sudah tersambung sepenuhnya dan telah dilakukan pemadatan oleh mesin pecok.
Pada 12 Maret 2020, telah dilakukan uji coba rangkaian kereta api di jalur ini, Uji coba ini sekaligus bertujuan untuk mengecek kesiapan persinyalan, wesel, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya sebelum jalur ini dapat resmi digunakan. Namun, akibat pandemi Covid-19, peresmian jalur ini harus tertunda hingga 2022.
Per tanggal 24 Maret 2022, reaktivasi segmen Cibatu–Garut diresmikan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri BUMN Erick Thohir. Peresmian tersebut juga dihadiri oleh Bupati Garut, Rudy Gunawan serta jajaran PT KAI Daop II Bandung. Upacara peresmian reaktivasi ini dilaksanakan di Stasiun Garut. Satu hari sesudahnya, dua layanan kereta api yang diberi nama Garut Cibatuan dan Cikuray berjalan reguler di segmen ini. Total biaya Rp400 miliar telah digelontorkan untuk reaktivasi jalur ini.
Baca juga :
Rencana Reaktivasi Jalur Kereta Api Garut-Cikajang Bergulir, Ini Kata Legislator Luqi Sa’adilah Farindani
Pertengahan April 2025, reaktivasi jalur kereta api Garut-cikajang mencuat ketika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyatakan komitmennya untuk memaksimalkan potensi pariwisata melalui pemanfaatan transportasi umum massal kereta api yang disampaikan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Perkeretaapian bertema “Rencana Reaktivasi dan Pembangunan Jalur Kereta Api Baru” di Bale Gedung Pakuan, Kota Bandung.
Di balik optimisme aktifnya kembali jalur kereta api Garut-Cikajang dapat menghidupkan kembali roda ekonomi, memberikan dampak positif dalam mengurangi kemacetan yang semakin parah, mempercepat distribusi barang, serta membuka peluang baru di sektor pariwisata khususnya Garut.
Muncul juga keresahan dari sekitar 5000 rumah tangga telah lama menempati lahan jalur kereta api Garut-Cikajang. Resah dan gelisah menghantui mereka atas potensi terusir dari tempat tinggal yang telah bertahun-tahun ditempati dan telah menjadi rumah mereka, membuat mereka tak memiliki pilihan lain kecuali menyuarakan kata “menolak”.
Bupati Garut ke-26, H. Rudy Gunawan yang memiliki pengalaman pada saat reaktivasi jalur Kereta Api Cibatu-Garut “turun gunung” untuk ikut menjelaskan kepada warga masyarakat yang menempati lahan jalur Garut-Cikajang untuk tetap tenang karena mereaktivasi jalur kereta api tentu tidak terjadi secara ujug-ujug. Perlu adanya feasibility study ) atau studi kelayakan untuk dapat mereaktivasi jalur kereta api, yang menyangkut investasi, prediksi jumlah penumpang, harga dan keuntungan.
Selain tenang, H. Rudy Gunawan menghimabu kepada warga yang tinggal sepanjang bantaran rel kereta api Garut-Cikajang untuk tetap mengikuti perkembangan, kalaupun reaktivasi ini jadi, semua ada prosesnya dan tentunya pemerintah tahu mana yang lebih baik dengan efek manfaatnya.***Raesha