Dejurnal,Ciamis,- Dalam menyongsong era Indonesia Emas 2045, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menegaskan perannya sebagai garda terdepan dalam menghadapi tantangan besar bonus demografi. Dengan semangat adaptif, progresif, independen, dan humanis, PGRI siap menjadi motor penggerak transformasi pendidikan nasional.
Pengurus PGRI Kabupaten Ciamis Bidang Informasi dan Komunikasi, Nanang Heryanto, S.Pd.I., M.Pd., CHt., CNNLP menyampaikan Indonesia tengah memasuki fase strategis di mana mayoritas penduduk berada pada usia produktif, yang bisa menjadi kekuatan besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Nanang bonus demografi tersebut p harus dikelola dengan bijak, terutama di sektor pendidikan, bonus demografi justru bisa berubah menjadi beban.
“Pendidikan adalah kunci peradaban, dan guru adalah aktor utamanya. PGRI sebagai rumah besar perjuangan guru harus tampil terdepan menjawab tantangan zaman,” ujarnya. Minggu (11/05/2025).
Lebih lanjut Nanang menjelaskan, perubahan teknologi dan budaya menuntut dunia pendidikan untuk terus beradaptasi. PGRI, mendorong terbangunnya ekosistem pembelajaran digital, pelatihan guru berbasis teknologi, serta tumbuhnya komunitas guru pembelajar yang dinamis dan progresif.
“Adaptasi adalah keharusan. PGRI harus menjadi fasilitator utama peningkatan kompetensi guru dalam literasi digital, pedagogi inovatif, dan keterampilan abad ke-21,” tegasnya.
Selain transformasi digital, Nanang menghimbau PGRI juga harus menaruh perhatian pada persoalan struktural pendidikan mulai dari ketimpangan kualitas, kesenjangan akses, hingga isu kesejahteraan guru.
“PGRI tak boleh hanya jadi penyampai aspirasi, tapi penggerak kebijakan. Kami mendesak adanya transparansi dalam rekrutmen guru, distribusi tenaga pendidik yang merata, serta perlindungan bagi guru non-ASN, khususnya yang bertugas di daerah terpencil,” jelasnya
Nanang juga menegaskan pentingnya menjaga jarak dari politik praktis. Menurutnya, netralitas adalah syarat mutlak agar PGRI tetap menjadi suara murni profesi guru, bukan alat kepentingan sesaat.
“Ketika organisasi terlalu dekat dengan kekuasaan, integritasnya bisa tergerus. PGRI harus tetap kritis, independen, dan dipercaya publik,” tegasnya.
Nanang menekankan pentingnya membangun pendidikan yang inklusif, ramah, dan menghargai keberagaman. Hal ini juga tercermin dalam prinsip-prinsip tata kelola internal organisasi.
“Kami memperjuangkan pendekatan empatik dan partisipatif. Organisasi yang sehat dibangun dari penghargaan terhadap martabat dan pendapat setiap anggotanya,” jelasnya.
Nanang mengungkapkan guna mewujudkan visi besar PGRI tak lepas dari pentingnya kepemimpinan yang visioner dan berintegritas. Menurut Nanang, pemimpin PGRI masa depan harus memimpin dengan nilai, memahami arah zaman, dan menjauhi konflik kepentingan.
“Jabatan di organisasi ini adalah ladang pengabdian, bukan ajang kekuasaan. Maka reformasi kelembagaan dan kaderisasi berbasis kapasitas adalah keniscayaan,” katanya.
Nanang menyampaikan bahwa momentum demografi tersebut hanya bisa menjadi berkah bila kualitas guru dan sistem pendidikan diperkuat secara menyeluruh. Di sinilah PGRI mengambil peran kunci.
“Menuju 2045, Indonesia membutuhkan guru yang unggul. Dan guru membutuhkan PGRI yang kuat, bersih, dan bermartabat,” pungkasnya. (Nay Sunarti)