Dejurnal.com, Garut – Aksi mimbar bebas yang digelar oleh 42 NGO (LSM) di Garut pada Selasa, 10 Juni 2025, untuk menyikapi 100 hari kinerja Bupati dan Wakil Bupati Garut periode 2024-2029 menarik perhatian luas. Menanggapi fenomena ini, Dadan Nugraha, S.H., seorang Advokat Konsultan Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik, memberikan perspektif objektif yang menyoroti dinamika demokrasi serta tuntutan akan pemahaman utuh terhadap batasan dan prosedur hukum yang berlaku.
“Dari kacamata hukum, aksi penyampaian pendapat di muka umum oleh 42 LSM ini adalah hak fundamental yang dilindungi konstitusi. “Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.’ Hak ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” jelas Dadan melalui rilis tertulis kepada dejurnal.com, Selasa (10/6/2025).
Ia menambahkan, keberadaan 42 NGO dengan beragam latar belakang yang bersatu menyuarakan 16 aspirasi adalah indikasi kuat adanya keresahan di akar rumput terhadap isu-isu publik. Isu-isu yang diangkat, mulai dari reformasi birokrasi, kelangkaan pupuk, masalah lingkungan, kemiskinan, hingga dugaan penempatan tim sukses dan monopoli proyek, adalah domain kebijakan publik yang wajib menjadi perhatian pemerintah daerah.
“Fungsi LSM sebagai kontrol sosial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, adalah sah dan penting. Mereka bertindak sebagai representasi masyarakat sipil untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan apa yang mungkin tidak terjangkau oleh telinga birokrasi,” tegas Dadan.
Menurutnya, kehadiran Ketua DPRD Garut yang mempersilakan aksi tersebut juga menunjukkan pengakuan terhadap hak konstitusional ini. Untuk itu, Dadan Nugraha juga mengajak masyarakat untuk melihat situasi ini dari perspektif Bupati dan Wakil Bupati Garut yang baru menjabat 100 hari. Dalam kerangka hukum dan administrasi pemerintahan, periode 100 hari adalah masa yang sangat singkat untuk melakukan perubahan substansial dan melihat dampak nyata dari kebijakan.
“Sebagian besar program dan janji kampanye memerlukan perencanaan anggaran yang matang, proses legislasi (melalui DPRD), tender proyek, hingga implementasi di lapangan yang memakan waktu,” papar Dadan.
Ia melanjutkan, pemerintahan daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki tugas dan fungsi yang sangat kompleks. Isu-isu seperti kelangkaan pupuk atau infrastruktur jalan rusak seringkali merupakan masalah struktural dan akumulatif dari periode sebelumnya, yang penyelesaiannya tidak bisa instan.
Mengenai tuduhan seperti “Reformasi Birokrasi Gagal” atau “Monopoli Pekerjaan/Proyek”, Dadan menegaskan bahwa ini adalah hal yang serius dan membutuhkan pembuktian hukum yang kuat.
“Tanpa bukti yang memadai, tuduhan semacam ini dapat dianggap sebagai fitnah atau pencemaran nama nama baik, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun dalam konteks penyampaian pendapat di muka umum ada ruang kebebasan yang lebih luas, prinsip akuntabilitas dan kebenaran informasi tetap menjadi fondasi,” jelasnya.
Dadan juga mengingatkan bahwa pemerintah daerah memiliki hak untuk mendapatkan waktu dan kesempatan untuk merealisasikan visi misinya, asalkan tetap dalam koridor hukum dan transparan. “Evaluasi 100 hari, meskipun penting sebagai momentum check-up, belum bisa menjadi dasar kuat untuk menilai kegagalan total,” imbuhnya.
Momentum Konstruktif untuk Demokrasi Sehat: Kepatuhan Hukum dan Kolaborasi
Sebagai pemerhati kebijakan publik, Dadan Nugraha memandang bahwa fenomena ini seharusnya menjadi momentum konstruktif bagi kedua belah pihak.
“Saran Bagi pergerakan (NGO), penting untuk menyadari bahwa hak menyampaikan pendapat harus diimbangi dengan tanggung jawab dan basis data yang kuat. Tuntutan yang didasari pada observasi saja, tanpa dilengkapi dengan data, analisis, atau riset yang mendalam, berpotensi mengurangi bobot substansi aspirasi tersebut,” tegas Dadan.
Ia menyarankan, apabila ada dugaan pelanggaran hukum (seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme), langkah selanjutnya bukan hanya berorasi, melainkan melaporkannya kepada lembaga penegak hukum yang berwenang (misalnya, kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), dengan bukti-bukti permulaan yang cukup, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan undang-undang terkait tindak pidana korupsi.
Sementara itu, bagi Bupati dan Wakil Bupati, Dadan melihat kritikan ini sebagai kesempatan emas untuk introspeksi dan menunjukkan responsibilitas.
“Meskipun baru 100 hari, pemerintah daerah harus dapat menunjukkan peta jalan yang jelas untuk mengatasi isu-isu yang disoroti. Transparansi dalam setiap kebijakan, khususnya terkait reformasi birokrasi dan pengadaan barang/jasa, adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik,” katanya.
Dadan menambahkan, tanggapan Ketua DPRD yang terbuka adalah langkah awal yang baik, namun respons langsung dari eksekutif melalui dialog konstruktif akan lebih efektif. “Pemerintah daerah harus bersedia membuka diri terhadap masukan dan, jika diperlukan, melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan,” tutupnya.
Secara keseluruhan, Dadan Nugraha menekankan bahwa aksi ini adalah bagian integral dari sistem demokrasi yang sehat. “Yang terpenting adalah bagaimana setiap pihak dapat memanfaatkan momentum ini secara produktif, mengedepankan dialog, dan bersama-sama mencari solusi terbaik untuk kemajuan Kabupaten Garut, selalu dalam bingkai hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” tutupnya.