Dejurnal.com, Garut – Pelantikan kepengurusan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kabupaten Garut untuk masa bakti 2025–2030, dengan diketuai/Nahkodai oleh H. Rajab Prilyadi, dinilai menghidupkan kembali diskursus tentang reposisi lembaga dunia usaha di tingkat lokal sebagai aktor konstitusional pembangunan ekonomi. Sebagai organisasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, serta diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2022 tentang Persetujuan Perubahan AD/ART KADIN, lembaga ini secara normatif memikul fungsi strategis sebagai mitra pemerintah dan pelaku usaha dalam mendorong pertumbuhan nasional. Namun, dalam praksis kelembagaan di daerah, fungsi tersebut kerap mengalami pelemahan baik secara struktural, partisipatif, maupun legal.
Hal itu disampaikan advokat dan pengamat hukum ekonomi Dadan Nugraha, S.H. “Dalam konstruksi hukum ekonomi publik, keberadaan KADIN merupakan bagian dari fungsi perwakilan non-legislatif dalam perekonomian. Artinya, lembaga ini tidak cukup sekadar menjadi agregator kepentingan dagang, tetapi harus menjadi aktor dalam transformasi struktural hukum usaha,” ujar Dadan kepada dejurnal.com, Rabu (25/6/2025).
Dadan juga menyampaikan ucapan selamat kepada pengurus KADIN Garut yang baru, sekaligus menyampaikan catatan objektif terkait tugas historis dan tanggung jawab hukum lembaga ini. Menurutnya, pelantikan KADIN di tingkat daerah bukan hanya peristiwa administratif, melainkan momentum koreksi peran kelembagaan ekonomi yang selama ini cenderung bersifat seremoni. Menurutnya, tanggung jawab utama KADIN di daerah harus didekati dengan perspektif hukum pembangunan.
Ia menyoroti beberapa ranah hukum yang seharusnya menjadi bagian integral dari agenda KADIN :
1. Hukum Produksi Pertanian Lokal – Sesuai Pasal 33 UUD 1945 dan turunannya dalam UU Pangan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dunia usaha seharusnya mendukung petani dalam aspek legalitas produksi, kontrak hasil tani, dan distribusi pasar berbasis koperasi.
2. Hukum Ketahanan Pangan dan Distribusi – Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pelaku usaha wajib mendukung ketersediaan, keterjangkauan, dan keamanan pangan nasional, termasuk melalui jejaring distribusi yang etis dan berpihak.
3. Hukum Industri dan Lingkungan Hidup – Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, industri lokal wajib dikembangkan dengan prinsip keberlanjutan dan kepatuhan terhadap tata ruang dan Amdal.
4. Hukum Perdagangan dan Perdata Bisnis – Dalam lingkup KUHD, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta Peraturan Pemerintah terkait OSS dan kontrak digital, KADIN harus mendorong literasi kontraktual dan perizinan sah bagi pelaku UMKM.
5. Hukum Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) – Berdasarkan Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang PBJ Pemerintah, KADIN memiliki ruang untuk mendampingi pelaku usaha lokal agar memperoleh akses terhadap tender dengan prinsip persaingan sehat dan keberpihakan.
6. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial –Diatur dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, prinsip CSR bukan sekadar formalitas, tetapi kewajiban hukum korporasi dalam pembangunan sosial, termasuk pelaku usaha di bawah naungan KADIN.
KADIN sebagai Institusi Etik-Ekonomik
Dadan menegaskan, dalam perspektif hukum sosial (sociological jurisprudence), sebagaimana dipahami dalam pemikiran Roscoe Pound dan Satjipto Rahardjo, hukum bukan hanya norma yang dibentuk negara, melainkan juga refleksi nilai dan kehendak masyarakat. KADIN sebagai lembaga usaha seharusnya menjadi agen pemaknaan hukum, bukan sekadar pelaksana regulasi.
“Ketika KADIN tidak memiliki posisi kritis terhadap kebijakan ekonomi daerah, ia kehilangan fungsi etiknya. Dunia usaha bukan hanya tempat mencari keuntungan, tetapi juga ruang pembentukan moralitas publik,” ujarnya.
KADIN Garut, lanjut Dadan, dalam pandangan objektif luar, perlu meninjau ulang orientasi program dan struktur organisasinya. Pendekatan hukum tidak boleh sekadar menjadi pelengkap, melainkan harus menjadi peta dasar pergerakan kelembagaan: dari pembinaan UMKM berbasis legalitas, advokasi hak pelaku usaha kecil, hingga pengawasan etik kontrak dalam pengadaan.
“KADIN harus menjadi ruang produksi ekonomi yang bermartabat. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi usaha, integritas dan hukum adalah modal yang paling berharga,” pungkas Dadan.***Red