Dejurnal.com , Garut — Di antara riuhnya geliat perkotaan Garut, terdapat sekelumit kisah sederhana namun penuh makna.
Seorang perempuan renta, Mak Solehah namanya, tetap setia berjalan kaki setiap hari Jumat menuju Jalan Kabupaten. Di tangan kirinya tergantung bakul berisi kacang suuk, camilan khas Sunda yang menjadi sumber penghidupannya selama puluhan tahun.
Di hatinya, tertanam kuat sosok yang tak pernah ia lupakan: Dr. H. Rudy Gunawan, SH, MH, MP — Bupati Garut ke-26, Senin (21/7/2025)
Mak Solehah bukanlah tokoh masyarakat, bukan pula pejabat atau orang terkenal. Ia hanyalah seorang penjual keliling yang kerap menjajakan dagangan di sekitar Kantor Bupati Garut dan Pendopo.
Namun di balik kesederhanaannya, ia menyimpan kenangan mendalam tentang seorang pemimpin yang menurutnya sangat luar biasa. Bukan karena kekuasaan, tetapi karena hatinya yang lembut dan perhatian tulus kepada rakyat kecil.
“Pak Rudy téh, bupati nu teu ngabédakeun jalma. Abdi mah ngan ukur tukang suuk, tapi anjeunna sok borong dagangan abdi. Kadang di Pendopo, kadang di kantor bupati,” tutur Mak Solehah, matanya berkaca-kaca, mengenang masa-masa ketika suuk dagangannya habis terjual hanya karena satu sosok: Pak Rudy.
Namun bukan hanya soal dagangan yang diborong. Setiap kali bertemu, Pak Rudy hampir tak pernah lupa menyelipkan selembar uang receh — seratus ribu rupiah — ke tangan Mak Solehah. Nominal yang barangkali dianggap tak berarti bagi banyak orang, namun bagi Mak Solehah, uang kecil itu adalah lambang perhatian dan kasih seorang pemimpin kepada rakyatnya.
“Unggal papanggih, anjeunna sok masihan duit saratus. Tapi éta téh tanda yén anjeunna henteu hilap ka urang leutik sapertos abdi,” ujarnya, tersenyum lirih.
H. Rudy Gunawan dikenal sebagai pemimpin dua periode yang tak pernah menjauh dari masyarakat bawah. Ia sering kali muncul tanpa iring-iringan, menyapa pedagang kecil, membeli jajanan pinggir jalan, bahkan berbagi tanpa publikasi. Sosoknya tak hanya hadir sebagai birokrat, tapi sebagai manusia yang memiliki nurani sosial tinggi.
Meski masa jabatan Pak Rudy telah usai, kebiasaan Mak Solehah belum berubah. Ia masih rutin mendatangi kediaman beliau setiap hari Jumat. Bukan sekadar untuk berdagang, tetapi karena rasa rindu dan syukur. Ia merasa kehilangan, seakan ada kekosongan setelah Pak Rudy tak lagi menjabat sebagai bupati.
“Hampir tiap Jumat abdi angkat ka bumi Pak Rudy. Henteu kusabab hoyong jualan, tapi kusabab aya rasa kangen sareng syukur ka anjeunna. Asa aya nu leungit dina hirup abdi saatos anjeunna henteu janten bupati deui,” kata Mak Solehah dengan suara nyaris tak terdengar.
Bagi Mak Solehah, Pak Rudy bukan hanya seorang bupati. Ia adalah pelindung, sahabat, dan penyemangat hidup. Seseorang yang membuatnya merasa dihargai meski hanya berjualan suuk. Sosok yang melihatnya bukan sekadar pedagang kecil, tapi manusia seutuhnya dengan martabat yang sama.
“Abdi mah mung tiasa ngadoakeun. Mugia anjeunna salawasna séhat, dipanjangkan umur, sareng diberkahan ku Gusti Allah. Kahadean anjeunna moal abdi hilap, salamina,” ucapnya tulus.
Kisah Mak Solehah dan Pak Rudy Gunawan adalah pengingat bagi kita semua bahwa pemimpin sejati tak hanya dikenang karena kebijakannya, tapi karena sentuhan kecil yang membekas di hati rakyat. Di tengah dunia yang makin sibuk dengan ambisi, kenangan sederhana seperti ini menjadi pelajaran abadi: bahwa cinta dan perhatian kepada sesama adalah warisan yang tak akan pernah usang.**Willy