Dejurnal.com, Garut — Dalam upaya mengangkat kembali nilai-nilai luhur sejarah bangsa Menteri kebudayaan Fadli Zon, melakukan kunjungan budaya ke kawasan Cagar Budaya Candi Cangkuang, yang terletak di tengah indahnya panorama Situ Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (7/8/2025).
Kunjungan ini menjadi momen penting dalam menegaskan posisi situs budaya sebagai jantung peradaban dan bukti otentik kerukunan antar umat beragama yang telah mengakar kuat sejak ratusan tahun lalu di tanah Nusantara.
Turut hadir mendampingi dalam kegiatan ini, anggota DPR RI komisi 10 Ferdiansyah,Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut, Luna Afrianti, Kepala UPT Cagar Budaya Cangkuang, Dr. H. Ate Susanto, ST., MT, dan beserta para seniman,budayawan,kuncen dan masyarakat keturunan dari Embah Dalem Arief Muhammad yang ikut bersama sama meneguhkan komitmen pelestarian situs sejarah sebagai warisan tak ternilai bangsa.
Situ Cangkuang bukan hanya menyajikan keindahan alam, namun juga menyimpan dua warisan peradaban besar yang berdampingan Candi Cangkuang, peninggalan agama Hindu, dan makam Embah Dalem Arief Muhammad, tokoh penyebar Islam yang dihormati. Keberadaan dua situs sakral ini dalam satu kawasan telah menciptakan ruang spiritual yang inklusif, di mana dua keyakinan besar tidak berkompetisi, melainkan saling melengkapi.
Fadli Zon dalam sambutannya menyebutkan bahwa kondisi semacam ini adalah bukti sejarah nyata bahwa masyarakat Nusantara sejak lama telah menjunjung tinggi prinsip toleransi dan keberagaman.
“Di tengah gempuran ideologi ekstrem dan polarisasi, tempat seperti Cangkuang ini memberi kita inspirasi tentang pentingnya menjaga harmoni. Ini bukan rekayasa modern, tapi warisan lokal yang otentik dari masa lampau,” tegas Fadli.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Luna Afrianti, menekankan bahwa pelestarian situs budaya bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi juga menyangkut edukasi nilai-nilai kebangsaan bagi generasi muda. Menurutnya, situs seperti Cangkuang harus menjadi ruang interaksi budaya dan spiritual, bukan hanya objek fotografi wisatawan.
Senada dengan itu, Dr. H. Ate Susanto memaparkan sejumlah program pelestarian yang telah dijalankan, mulai dari penataan ekosistem wisata, konservasi bangunan cagar budaya, hingga penguatan narasi sejarah berbasis riset dan kearifan lokal.
“Kami ingin menjadikan Cangkuang sebagai ruang belajar yang hidup tempat di mana pengunjung bisa memahami bahwa keragaman bukan hambatan, melainkan kekayaan yang tak ternilai,” ujar Dr. Ate.
Lebih dari sekadar situs arkeologis, Fadli Zon mendorong agar Situ Cangkuang diangkat sebagai model nasional toleransi berbasis warisan budaya. Menurutnya, Indonesia membutuhkan narasi-narasi positif yang membumikan semangat persatuan bukan hanya di ruang politik, tetapi juga di ranah budaya dan keseharian masyarakat.
Ia mengusulkan agar pemerintah pusat dan daerah menjalin sinergi strategis untuk mendukung pengembangan kawasan Cangkuang sebagai magnet wisata budaya dan edukasi toleransi baik di tingkat nasional maupun internasional.
“Cangkuang harus diposisikan sebagai ikon Indonesia yang rukun dalam keberagaman. Dengan pengelolaan yang profesional, kawasan ini bisa jadi contoh hidup tentang apa arti sesungguhnya dari Bhineka Tunggal Ika,” ujar Fadli menutup kunjungan.
Kawasan Situ Cangkuang bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah dokumen hidup peradaban, tempat di mana nilai-nilai spiritual, sejarah, dan harmoni sosial bertemu. Candi Cangkuang dan makam Embah Dalem adalah dua saksi bisu, dua monumen yang berdiri berdampingan tanpa konflik menjadi cermin ideal Indonesia yang damai dan bersatu.
Melalui perhatian yang serius dan pengelolaan yang bijak, Situ Cangkuang dapat menjadi simbol harapan, bahwa di tengah perbedaan, perdamaian adalah pilihan yang mungkin dan pernah benar-benar hidup dalam sejarah kita. Maka tugas generasi kini adalah menjaga nyala itu tetap hidup, agar ia tak hanya dikenang, tetapi juga terus menginspirasi.**Willy