Dejurnal.com , Garut — Di tengah gencarnya wacana pembangunan dan kemajuan energi terbarukan, ironisnya masyarakat Padaawas Karyamekar, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut justru bergulat dalam gelap dan jalan yang berlubang, Selasa (5/8/2025).
Di sinilah, suara rakyat kecil menggema lewat sosok Jajang Apad, Ketua Umum Gabungan Masyarakat Padaawas Karyamekar (GMPK), yang akhirnya angkat bicara lantang mewakili keresahan kolektif warga yang tak lagi bisa ditahan.
Sudah lebih dari tiga minggu, keluhan demi keluhan bermunculan: jalan rusak parah, minimnya fasilitas dasar, hingga ketiadaan penerangan jalan umum (PJU) yang menciptakan malam yang penuh ketakutan. Namun, sejauh ini, semua hanya berujung pada diam tak ada langkah konkret dari pemerintah, tak ada telinga yang benar-benar mendengar.
“Saya ini bingung. Katanya ada keputusan dari pemerintah, tapi nggak jelas. Mau apa sih Garut ini? Katanya untuk masyarakat, tapi masyarakat nggak pernah dilibatkan. DPRD ke mana? Kenapa tidak ada hasil konkret yang bisa dirasakan masyarakat di bawah?” Jajang Apad, dengan nada geram.
Kegeraman Jajang bukan tanpa alasan. Daerah Padaawas Karyamekar merupakan wilayah strategis yang menopang operasional pembangkit panas bumi (geothermal) sumber energi yang menerangi ribuan rumah di luar daerah mereka. Namun, justru mereka yang tinggal di sumber energi tersebut harus berjalan di atas aspal hancur dan hidup dalam gelap gulita saat malam tiba.
“Listrik dari panas bumi itu katanya dari daerah kami. Tapi kenapa kami justru hidup dalam gelap? Kalau malam gelap gulita, anak-anak takut, orang tua waswas, takut maling. Ini bukan hidup yang layak,” tegasnya.
Bagi warga, kondisi ini bukan lagi soal kenyamanan, tapi soal keselamatan. Tanpa lampu jalan, kecelakaan rawan terjadi. Tanpa pengawasan visual yang memadai, kejahatan mengintai. Ketakutan dan trauma menjadi teman sehari-hari mereka.
Jajang juga menyoroti diamnya para wakil rakyat. DPRD, menurutnya, telah gagal menjadi jembatan aspirasi. Keputusan-keputusan yang berdampak pada masyarakat datang dari atas tanpa diskusi, tanpa musyawarah, dan tanpa empati terhadap realitas di bawah.
“Kenapa masyarakat seperti disingkirkan? Seolah-olah suara kami tidak penting. Padahal, yang merasakan dampaknya itu kami. Jalan rusak, nggak ada PJU, layanan dasar saja tidak terpenuhi. Ini mau dibawa ke mana Garut?” ujarnya, penuh keprihatinan.
Lebih lanjut, GMPK akhirnya memaksa terbukanya jalur komunikasi. Setelah upaya koordinasi yang panjang, mereka dijadwalkan akan bertemu dengan pihak sekretariat DPRD Garut pada hari Jumat mendatang. Pertemuan ini menjadi harapan terakhir agar suara warga tidak lagi dipendam, melainkan dijadikan dasar perubahan.
Jajang tidak meminta yang muluk-muluk. Ia hanya menginginkan pejabat turun langsung ke lapangan, menyaksikan kondisi jalan yang rusak, merasakan gelapnya malam tanpa PJU, dan mendengar langsung suara rakyat dari mulut pertama, bukan dari laporan yang dibungkus rapi.
“Saya minta kepada pemerintah, tolong lihat kami. Jangan cuma duduk di kantor. Turun ke lapangan, lihat jalan kami, rasakan malam hari di sini tanpa penerangan. Baru bisa mengerti bagaimana kami hidup,” pungkasnya.**Willy