Dejurnal, Ciamis,- Setiap bulan Rabiul Awal atau yang dikenal juga dengan bulan Mulud, berbagai tradisi keagamaan dan budaya digelar di tanah Sunda khususnya Kabupaten Ciamis.
Salah satunya adalah tradisi jamasan pusaka peninggalan Bupati Galuh Raden Adipati Aria (RAA) Kusumadiningrat yang berlangsung di Situs Jambansari. Minggu (14/09/2025)
Tradisi jamasan atau mencuci pusaka telah dilakukan secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Awalnya, jamasan hanya terbatas diikuti keluarga dan kerabat keturunan Galuh.
Namun kini, prosesi budaya tersebut semakin terbuka sehingga dapat dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari budayawan, komunitas, keturunan Galuh, hingga pelajar dan masyarakat umum.

Sekretaris Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Ciamis, Hendri Ridwansyah, ST, MM, menyampaikan apresiasinya terhadap terselenggaranya kegiatan jamasan dengan lancar. Ia menilai, kegiatan Jamasan bukan hanya perawatan benda pusaka, melainkan juga perwujudan pelestarian budaya yang telah diwariskan sejak masa kejayaan Galuh.
“Alhamdulillah, agenda jamasan pusaka di Situs Jambansari tahun ini dapat berjalan baik dan lancar. Tradisi ini merupakan bagian dari keanekaragaman dan kekayaan budaya yang dimiliki Tatar Galuh Ciamis, sekaligus pengingat agar kita menghargai peninggalan para leluhur,” ujarnya
Dikatakan Hendri tradisi jamasan di Jambansari erat kaitannya dengan pusaka peninggalan Raden Adipati Aria (RAA) Kusumadiningrat, salah satu tokoh penting dalam sejarah Galuh.
“Prosesi jamasan diawali dengan kirab pusaka dari Keraton Selagangga menuju Situs Jambansari. Sebanyak delapan pusaka peninggalan RAA Kusumadiningrat dikirab, di antaranya keris betok, tombak, keris kuno, hingga pedang. Pusaka-pusaka tersebut dibawa langsung oleh para kerabat keluarga besar Galuh,” jelasnya
Hendri menambahkan setibanya di Jambansari, pusaka dimandikan dengan penuh khidmat. Prosesi dilakukan menggunakan tata cara adat Sunda, dilengkapi dengan berbagai simbol budaya seperti bunga setaman, bubur beureum bodas, nyiru buleud, hingga sesajian berupa buah-buahan dan makanan ringan.
“Prosesi jamasan dipimpin oleh kasepuhan adat dan tokoh budaya, serta turut disaksikan masyarakat dari berbagai kalangan. Jamasan ini mempunyai makna spiritual, dan menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa syukur, mempererat silaturahmi, dan menjaga hubungan manusia dengan alam,”imbuhnya.
Hendri menegaskan, jamasan pusaka bukan sekadar membersihkan benda bersejarah, tetapi juga simbol membersihkan budaya dan hati. Filosofi ini selaras dengan pepatah Sunda kuno yang dikutip dalam acara, yakni “Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke” ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak ada sekarang.
“Secara harfiah, jamasan adalah membersihkan pusaka. Tetapi lebih dari itu, ia mengajarkan agar kita menjaga warisan budaya sekaligus membersihkan diri dan lingkungan. Filosofinya sangat dalam, karena mengingatkan kita bahwa kehidupan hari ini tidak lepas dari peran leluhur di masa lalu,” ungkapnya.
Hendri juga menekankan pentingnya peran generasi muda dalam menjaga kelestarian tradisi. Ia menilai kehadiran anak-anak dan pelajar dalam prosesi jamasan menjadi tanda bahwa warisan budaya ini masih terus hidup di tengah masyarakat.
“Kami berharap kegiatan seperti ini tetap dilestarikan secara berkesinambungan. Tadi ada sedikit kekhawatiran dari Dewan Kebudayaan mengenai penerus tradisi ini. Tetapi Alhamdulillah, saya melihat langsung banyak generasi muda hadir. Itu kebahagiaan tersendiri, karena artinya nilai-nilai budaya ini masih diwariskan,” tuturnya.
Hendri menyebutkan tradisi jamasan pusaka di Situs Jambansari telah ditetapkan sebagai bagian dari program pelestarian kebudayaan Kabupaten Ciamis.
“Disbudpora berkomitmen mendukung kegiatan serupa agar tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga berkembang sebagai identitas budaya sekaligus potensi wisata budaya dan religi,” ucap Hendri
Nandang Samada Putra, juru kunci sekaligus panitia jamasan, menyampaikan bahwa seluruh perlengkapan yang disiapkan dalam acara Jamasan bukan sekadar hiasan, tetapi memiliki makna filosofis yang dalam.
“Sesaji itu hakikatnya bukan untuk dipuja, melainkan siloka atau pengajaran. Misalnya, bunga setaman bermakna manusia harus menjaga perilakunya agar selalu harum. Bubur beureum bodas melambangkan keseimbangan, sementara kopi pahit, rujak asem, dan makanan manis adalah simbol perjalanan hidup yang beragam rasa pahit, manis, asam, getir semua sudah diatur oleh Allah,” ungkapnya
Nandang juga menuturkan tradisi jamasan pusaka bukan hanya menjaga kelestarian benda bersejarah, tetapi juga sarat makna spiritual.
“Dalam falsafah Sunda, jamasan mengajarkan manusia untuk senantiasa menjalin silaturahmi, tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan seluruh makhluk ciptaan Allah hewan, tumbuhan, dan alam semesta,” tuturnya
Adapun simbol lainnya seperti nyiru buleud menggambarkan peran perempuan sebagai penjaga kehidupan, sementara buah tujuh rupa menjadi pengingat bahwa usaha manusia harus menghasilkan buah yang bermanfaat. Air yang digunakan pun diambil dari berbagai mata air, sebagai lambang persatuan dan keberkahan.
“Air itu sama-sama ciptaan Allah, tetapi setiap sumber memiliki karomah atau keberkahan tersendiri. Dengan menyatukan air dari tujuh mata air, kita menyatukan doa dan karomah, sebagaimana zamzam yang diberkahi sejak zaman Nabi Ibrahim,” tambah Nandang.
Budaya jamasan di Jambansari menurut Nandang merupakan bagian dari warisan karuhun Galuh yang terus dijaga oleh kasepuhan dan masyarakat adat. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pengingat bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi harus menjaga keseimbangan alam, memelihara silaturahmi, serta hidup dengan penuh rasa syukur.
“Hingga kini, tradisi ini masih berlangsung secara rutin setiap tahun dan menjadi daya tarik budaya serta religi bagi masyarakat Ciamis maupun luar daerah. Lebih dari sekadar ritual, jamasan pusaka menjadi ayat kehidupan yang hidup sebuah pesan moral dari para leluhur agar manusia mampu menata diri, menjaga harmoni, dan menghargai warisan budaya,” pungkasnya. (Nay Sunarti)