Dejurnal.com, Bandung — Aksi unjuk rasa dari Aliansi Masyarakat Kabupaten Bandung (AMKB) yang digelar di depan gerbang Komplek Pemda Kabupaten Bandung, Jalan Al-Fathu Soreang, Kamis (9/10/2025) suasananya sempat menegang, karena terik matahari dan pekikan orasi.
Namun ketegangan itu berubah menjadi kesejukan ketika Ketua DPRD Kabupaten Bandung, Hj. Renie Rahayu Fauzi, keluar dari gedung dewan dan turun langsung menemui massa aksi AMKB.
Renie menyapa massa yang memenuhi halaman depan sekretariat dengan penuh kelembutan.
“Kami pimpinan DPRD menyampaikan selamat datang kepada Aliansi Masyarakat Kabupaten Bandung dan menyampaikan apresiasi kepada semua yang hadir di sini. Tapi alangkah baiknya kalau kita berbicara di dalam,” ujarnya, mengundang massa untuk berdialog di ruang rapat paripurna DPRD.
Ajakan itu disambut tepuk tangan dan sorak gembira dari peserta aksi. Dalam hitungan menit, situasi yang semula tegang berubah cair. Tak ada pagar pembatas, tak ada barikade aparat yang menahan jarak hanya dialog terbuka antara rakyat dan wakilnya.
“Gedung DPRD ini rumah rakyat, rumah mereka untuk menyampaikan aspirasinya,” ucap Renie saat ditanya awak media soal keputusannya membuka pintu dewan bagi seluruh pendemo.
Langkah Renie bukan sekadar simbolik. Ia menunjukkan kepemimpinan yang turun tangan, bukan tunjuk tangan. Saat sebagian pejabat memilih berlindung di balik meja rapat, Renie justru menembus kerumunan untuk mendengar langsung suara masyarakat.
Didampingi para wakil ketua DPRD H. Firman B. Sumantri, H. Thony Fathony Muhammad, dan Dr. M. Akhiri Hailuki ia mempersilakan perwakilan AMKB masuk ke dalam Gedung DPRD Kabupaten Bandung. Seluruh peserta diperlakukan dengan hormat dan diberi ruang bicara yang sama.
“Kami tidak pernah menutup pintu bagi siapa pun. Kami terbuka untuk berdialog, baik lewat surat resmi maupun komunikasi langsung. Karena itu, ketika mereka datang ke sini, sudah sepatutnya kami turun ke bawah menyambut,” tutur Renie.
Aksi damai AMKB kali ini menyoroti berbagai isu penting: dugaan monopoli proyek pengadaan barang dan jasa, kejanggalan pendirian PT Bandung Daya Sejahtera (BDS), konflik air bersih di Kecamatan Pacet, hingga polemik revitalisasi Pasar Banjaran.
Meski aspirasi disampaikan dengan gaya khas pendemo bersemangat, keras, dan penuh emosi, Renie menyimaknya dengan kepala dingin. Ia tak pernah memotong pembicaraan, mendengarkan satu per satu dengan tatapan fokus dan sabar.
“Mereka datang membawa kepedulian, bukan permusuhan. Karena itu, kami harus mendengarnya dengan hati,” katanya lembut, namun tegas.
Dialog berlangsung hingga malam hari, dihadiri oleh Asisten II Pemkab Bandung Kawaludin, serta sejumlah kepala OPD seperti Kepala Disdagin Dicky Anugrah, Kepala Dinsos Ningning Hendarsah, dan Kepala Diskominfo Teguh Purwayadi. Suasana debat yang awalnya hangat berubah menjadi diskusi konstruktif.
Hingga pukul 22.00 WIB, audiensi berakhir dengan kesepakatan tindak lanjut dari DPRD dan Pemkab Bandung.
“Kami akan kawal hasil audiensi ini agar tidak berhenti di meja rapat. DPRD hadir untuk memastikan setiap kebijakan publik berpihak pada rakyat,” tegasnya.
Langkah konkret ini disambut apresiasi dari perwakilan AMKB. Mereka menilai Ketua DPRD dan jajaran pimpinan dewan telah menunjukkan contoh kepemimpinan yang humanis dan mengedepankan dialog, bukan konfrontasi.
Banyak yang menyebut Renie sebagai Srikandi Parlemen Kabupaten Bandung sosok perempuan pemimpin yang memadukan ketegasan, empati, dan kebijaksanaan. Di bawah bimbingannya, DPRD bukan sekadar lembaga formal, tapi menjadi wadah aspirasi yang hidup.*di