Dejurnal.com, Bandung – Pengasuh Pondok Pesantren Daar El Jannah Kutawaringin Kabupaten Bandung H. Andris Fajar, S.Ag., M.Pd menilai, ditetapkannya Hari Santri pada tanggal 22 Oktober oleh pemerintah secara resmi pada tahun 2015 merupakan bentuk apresiasi terhadap perjuangan para santri.
“Ini sebagai bentuk penghargaan, berawal dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, seruan agar umat Islam berjihad melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” kata H.Andris Fajar kepada iNNews, Bandung Jumat (10/10/2025).
Peristiwa tersebut juga mendorong perjuangan rakyat, termasuk pertempuran di Surabaya yang kemudian melahirkan Hari Pahlawan.
“Santri adalah garda bangsa. Bagaimana para santri berjuang dibawah kepemimpinan Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Bahkan yang disebut resolusi jihad, kalau kata kiai serbu, ya serbu. Karena NU insyaallah NKRI aman,” katanya.
Bagi santri, lanjut H. Anders adanya hari santri ini sebagai bentuk penghargaan kepada para santri yang nantinya menjadi ulama, yaitu sebagai benteng bangsa ini.
“Karena santri itu satu suara, kecuali dibawa ke ranah politik, beda lagi. Asal kata santri memiliki beberapa pendapat yang berbeda, di antaranya berasal dari bahasa Sanskerta (shastri yang berarti ahli kitab), bahasa Jawa (cantrik yang berarti murid yang mengikuti guru), dan juga ada yang mengaitkan dengan bahasa Arab sanātri (murid) atau kepanjangan huruf-huruf Arab seperti sin, nun, ta’, ra’ (menutup aurat, wakil ulama, meninggalkan maksiat, pemimpin umat),” tutur H.Andres.
Pria asal Sumedang yang kini tinggal di Bilangan Desa Gajahmekar, Kecamatan Kutawaringin Kabupaten Bandung ini, sejak SMP ikut jadi santri kalong di Pesantren Pagelaran Dua Sumedang, milik paman Ridwan Kamil
Belajar nahwu sorof. Waktu SMA mondok di Pesantren Nurul Mujahidin di Tanjungsari Sumedang, setelah lulus SMA di Pondok Pesantren Almasiriyah di Sukabumi selama 5 tahun, setelah lulus S1 sambil kuliah mondok lagi di Pesantren Anidom Sukabumi yang diasuh oleh Abuya Abdulah Muhtar.
“Walaupun kita sudah seusia begini kita tetep saja nyantri. Pesantren itu bukan terus-terusan mondok, ikut pengajian ,seperti sekarang saya ikut rutinan di Pesantren Darul Ma’arif KH. Sofyan Yahya di Rahayu Margaasih. Tiap malam Kamis,hari Kamis dan hari Jumat. Seminggu 3 kali. Kalau ke Sukabumi ada Anidom sebulan sekali Syhriahan namanya,” katanya.
Walau pun sudah selesai santri, kata Andris,tapi tetap saja berbaur atau sebagai santri. “Nah, akhirnya kita juga sama anak-anak santri yang masih kecil kita mulai membina ke depannya banyak yang bercita cita jadi ustad, kiai dan kita bina sejak dini,” katanya.
Santri yang terus nyantri
H. Andres sambil sekolah kenyang juga pesantren salap. ” Kalau saya waktu di Almasturiyah itu modern, kalau di Anidom itu Salaf. Bedanya kalau Salaf tidak sambil sekolah, hanya menggeluti kitab kuning. Rata-rata disiapkan menjadi kiai atau ustad di kampung masing-masing,” katanya.
H.Anders sendiri asalnya kalau Salaf itu buat dipersiapkan jadi ustad , karena itu mubalig kitab kuning dari nahwu sorof, fikih dll. Ada 12 pan ilmu. Kalau seorang santri suda menguasai 12 pan ilmu luar biasa bisa jadi kiai.*** di