https://dejurnal.com/wp-content/uploads/2016/09/Gua-Hiro-2.jpg
Di dalam tareh Islam dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadhan, malam itu adalah malam kemuliaan (lailatur qadar) dan malam yang penuh berkah (lailatul mubarokah), karena di malam itulah permulaan turunnya Al Quran sebagai petunjuk dan cahaya yang terang (nur) untuk menyinari seluruh alam. Di suatu gua di bukit Hira, tidak jauh dari kota Mekah,Nabi Muhammad SAW sedang berkholwat disitu seorang diri untuk beribadah,memuja dan memuji Tuhan,memohon dan menggantungkan harapan kepadaNya.
Nabi amat merasakan, betapa kerusakan kaumnya dan bangsa-bangsa pada umumnya, sehingga menimbulkan tekad yang besar untuk melakukan pembaharuan dan perbaikan, baik mengenai kepercayaan, peribadatan maupun hubungan pergaulan hidup. Tetapi Nabi tidak mengetahui jalan mana yang akan di tempuh dan pelajaran apa yang hendak disampaikannya, karena beliau belum pernah mempelajari agama-agama lama ataupun pengetahuan tentang kemasyarakatan. Maklumlah beliau seorang buta hurup (ummi). Hasrat inilah yang mendorong beliau untuk ujlah (mengasingkan diri) dan khalwat (menyepi).
Nabi SAW berdiam di gua Hira beberapa hari lamanya dengan membawa perbekalan yang disiapkan oleh istri beliau, seorang wanita rupawan,cerdas ,dan berbudi, bernama Khadijah. Bila sudah habis perbekalan, beliau pulang dan kembali lagi dengan perbekalan baru.Hingga sampai lah pada suatu malam yang bersejarah yaitu malam permulaan turunnya Al Quran.
Pada malam itu datanglah malaikat Jibril sambil berkata: “Aku ini Jibril dan engkau Rasulullah!” Sejenak Nabi tidak mengerti perkataan Jibril itu, karena belum mengetahui siapa Jibril dan apa artinya Rasulullah. Di saat beliau masih terheran-heran, Jibril menyambung perkataannya dengan menyuruh Nabi` “iqra” (bacalah!). Karena Nabi seorang yang ummi belum pernah membaca dan menulis, tentu saja tiada sanggup melaksanakan perintah Jibril. Beliau hanya menjawab : “Ma ana biqari” (Aku tidak bisa membaca).
Serta merta Jibril memeluk Nabi dengan keras hingga beliau merasa payah dan sesak nafasnya. Setelah dilepaskan, disuruhnya sekali lagi membaca. Tetapi Nabi tetap menyatakan tidak sanggup membacanya. Lantas dipeluknya dengan keras sekali lagi yang juga membuat sesak nafas beliau. Setelah dilepas kembali Jibril mengucapkan: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu itu Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena (tulis baca). Mengajarkan kepada manusia,apa yang belum diketahuinya.” (QS.Al Alaq: 1-5)
Selesai berucap itu, Jibril pun segera menghilang. Bagi Nabi peristiwa ini merupakan hal yang baru pertama kalinya dialami dan tiada diduga akan terjadi atas dirinya. Tentu saja perasaan cemas dan bingung timbul di dalam hati. Tiada pula dapat dibayangkan oleh Nabi, apa gerangan yang akan terjadi pada dirinya sesudah ini. Entah akan beroleh rahmat dan kebahagiaan ataukah bahaya dan kebinasaan.
Dengan perasaan harap dan cemas,Nabi segera meninggalkan gua Hira pulang dengan membawa pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, berkenaan dengan peristiwa yang baru terjadi itu. Sampai di rumah, Nabi berseru kepada istrinya : “Zammiluni, zammiluni” (Selimuti aku,selimuti aku!). Lalu Nabi segera diselimuti oleh Khadijah. Istri yang arif bijaksana itu merasa telah terjadi sesuatu atas diri suaminya. Setelah tenang barulah Nabi menceritakan peristiwa itu kepada istrinya. Mendengar berita tersebut Khadijah berpikir sejenak. Sebagai seorang istri yang mencintai suaminya sepenuh hati,dia merasa bahwa perasaan cemas yang menyelubungi hati suaminya harus dihilangkan segera agar jiwanya kembali tenang seperti sediakala.
Dengan suara lembut Khadijah berkata agar suaminya tidak usah cemas dan takut karena peristiwa ini diangapnya bukanlah suatu bahaya atau hal yang akan membawa celaka. Diingatkan olehnya, bahwa Tuhan akan tetap memelihara dan melindungi Nabi, karena suka berbuat baik, menegakkan keadilan, dan kebenaran, membela orang yang teraniyaya dan menolong yang sengsara. Ucapan Khadijah itu rupanya dapat menentramkan perasaan Nabi.
Kemudian Khadijah mengajak Nabi menemui anak pamannya bernama Waraqah bin Naufal, seorang yang telah lanjut usia dan penganut agama Nasrani yang pernah menyalin sebagian dari kitab Injil ke dalam bahasa Arab. Kepada Waraqah, dikatakan bahwa suaminya telah mengalami suatu peristiwa yang belum pernah dialaminya selama ini. Selanjutnya Khadijah meminta Nabi menceritakan kejadian itu kepada Waraqah. Setelah diuraikan oleh Nabi peristiwa yang terjadi, Waraqah menerangkan : “Yang datang itu adalah Namus (malaikat Jibril) yang pernah menurunkan wahyu dari Tuhan kepada Nabi Musa.”
Selanjutnya Waraqah berkata;”Wahai, seandainya saya masih kuat ketika engkau diusir oleh kaum engkau, sehingga saya dapat menolong.” Dengan penuh keheranan Nabi bertanya; “Apakah aku akan diusir oleh kaumku?” Jawab Waraqah tegas: “Itu akan terjadi dan pernah terjadi pada Nabi-nabi yang terdahulu”. Dengan keterangan Waraqah ini, keduanya kini mengerti bahwa Nabi Muhammad telah dipilih Tuhan menjadi Rasul, menerima wahyu dari Allah dengan perantaraan malaikat Jibril. Tugasnya mengembangkan agama Tuhan kepada segenap umat manusia.
Perjalanan dan peristiwa spiritual yang dialami oleh Nabi SAW dengan cara khalwat (menyepi) di gua Hira, kemudian menerima wahyu dari Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril, itu merupakan ‘itibar (pelajaran) bagi kita yang mengaku umat Nabi SAW. Ketika kita menghadapi berbagai persoalan di dalam kehidupan, dirundung pilu dilanda kegalauan baik yang berupa keinginan atau cita-cita,maka hendaknya taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT), bertobat dan bersyukur agar memperoleh kesuksesan. Firman Allah SWT didalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 71 yang artinya: “Dan barang siapa yang mematuhi Allah dan RasulNya, sesungguhnya dia akan memperoleh keberuntungan yang besar.”
Baarakallaahu lii walakum.***