Oleh: Ade Burhanudin *)
Mungkin pernah di antara minum kopi di sebuah cafe ditawari atau disodori gula aren (kawung) untuk pemanis kopi. Rasa manis gula aren tentunya berbeda dengan gula putih. Namun pernahkah kita membayayangkan bagaimana proses membuat gula aren sampai kepada bisa terhidang di hadapan kita dan menikmati rasa manisnya.
Gula Aren didapat dari tetesan air nira yang mengalir dari batang lengan pohon kawung atau aren, pengambilan tetesan air nira ini dikenal dengan sebutan “nyadap”.
Dibalik proses nyadap tidak sesederhana yang kita bayangkan, selain butuh keterampilan khusus tersimpan juga filosofi hidup yang mendalam dalam pengambilan air nira.
Dalam filosofi urang sunda, proses mengumpulkan air nira dari pohon alam atau nyadap menjadi simbol dari konsep “ngeureut neundeun” (membuang untuk mengumpulkan), melepaskan untuk menerima, itulah makna yang tersimpan dari pesan spiritualnya.
Setiap pagi, penyadap dengan penuh kesabaran dan ketelitian melukai tangkai mayang (bunga Kawung), membuang bagian yang tidak diperlukan agar nira bisa mengalir dengan lancar. Luka itu bukan sekadar kerusakan, melainkan jalan bagi kehidupan baru. Begitu pula dalam hidup, kadang kita harus rela melepaskan sesuatu, mengurangi beban, atau mengorbankan kenyamanan demi memperoleh hal yang lebih besar di masa depan.
Baca juga :
Seluas Bumi Setinggi Langit, Harapan Manfaat Dari Pohon Kawung
Baca juga :
Reses Legislator Ade Amran Kampanyekan Tanam dan Lestarikan Kawung
Air nira yang terkumpul tidak serta-merta langsung dikonsumsi, melainkan diendapkan, difermentasi, atau dimasak menjadi gula merah. Ini menggambarkan bahwa setiap hasil dari kerja keras butuh proses penyempurnaan sebelum benar-benar bermanfaat.