Oleh : Ade Burhanudin, S.I.P., M.Si
Sekjen Masyarakat Kawung Indonesia (MKI)
Membicarakan kawung di sekeliling orang Sunda merupakan kata maupun bahasa yang tidak asing untuk di pahami, khususnya Jawa Barat. Kawung atau yang kebanyakan orang mengenal dengan nama aren (Kawungga pinnata Merr) merupakan salah satu keluarga palma (Palm) yang sangat sarat mengandung manfaat, filosofi, serta tumbuhan serbaguna bagi mereka yang mau berteman bersamanya. pohon tersebut dapat tumbuh pada ketinggian 0-1 500 meter di atas permukaan laut. Kawung kini seolah-olah telah dilupakan oleh para anak muda, maupun khalayak banyak. Sekarang waktunya kaum muda memperkenalkanya kembali kepada seluruh penduduk dunia bahwa kawung perlu di lestarikan, di budidayakan dan dijaga keberadaanya.
Kawung seringkali, maupun lebih dikenal sebagai salah satu tanaman hutan dikarenakan susah untuk dibudidayakan, butuh waktu tidak sebentar untuk tumbuh dan memberikan manfaat bagi si penanamnya, namun sebenarnya kawung telah mulai dibudidayakan secara baik oleh berbagai suku di nusantara, semisal sejak awal tahun 1800 di daerah Pakenjeng Kabupaten Garut, sudah mulai adanya proses penanaman meskipun tidak dalam skala besar.
Kini tanaman tersebut sudah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi kultur, adat, geografi, agama dan lainnya. Dulu dan sampai sekarang kadang penyebaran dan pertumbuhan kawung umumnya berlangsung secara alamiah. Pada beberapa tempat maupun daerah, terutama yang memiliki kebiasaan membuat gula kawung atau mengonsumsi minuman beralkohol, kawung sudah sering ditanam secara sengaja, meskipun umumnya sebagai tanaman pinggiran atau tanaman sela di antara tanaman pepohonan yang sudah ada.
Para petani penderes maupun penyadap kawung mengakui bahwa gula yang dihasilkan dari nira/lahang kawung sangat menolong ekonomi mereka, namun perhatian pemerintah terhadap upaya pengembangan tanaman ini sangat terbatas, kurang peduli dan tidak konsisten. Hal yang sama dijumpai pada lembaga-lembaga penelitian, penelitian tanaman kawung umumnya dilakukan secara insidentil dan tak berkelanjutan. Kawung seolah-olah hanya dijadikan objek pemuas kebutuhan ekonomi semata bagi para penguasa maupun kalangan intelek dalam penelitian yang tak berujung pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat jauh kepada devisa Negara.
Sebenarnya semua bagian tanaman maupun pohon kawung sangatlah berguna bagi manusia, baik untuk pangan maupun bahan baku industry dan energy terbarukan. Di samping itu, kawung memiliki kemampuan fungsi hidrologis yang tinggi sehingga sangat sesuai untuk tanaman konservasi dan penahan tanah dari erosi, di Jawa Barat akan banyak di jumpai pohon kawung rata-rata berada di sekitaran tanah yang miring maupun rentan longsor.
Masih di Jawa Barat, tanaman kawung banyak ditebang untuk dipanen patinya kemudian diolah menjadi tepung kanji, dan ini sebenarnya tak sesuai dengan konsep menjaga memelihara dan memberdayakan. Penebangan pohon kawung diusia muda, akan memercepat penurunan populasi kawung itu sendiri. Pada Bulan Ramadhan Kolang kaling yang dibuat dari bunga betina yang masih muda masih merupakan makanan penyegar paforit masyarakat, terutama selama masa puasa bagi kaum muslim, Masyarakat Kawung Indonesia hadir untuk sama-sama mengusung Kawung sebagai sebuah identitas bangsa, symbol kebangkitan ekonomi rakyat pinggiran dan filosofi hidup. Manfaat yang paling di gemari, maupun yang paling terkenal dari kawung ialah Gula merah atau masyarakat sunda lebih akrab dengan sebutan gula beureum maupun gula kawung.
Gula kawung dewasa kini lebih memasyarakat, bagaimana tidak yang semula hanya digunakan untuk pegangan di dapur (bumbu masak) dan industry kecap, sekarang sudah mulai diminati serta digandrungi berbagai kalangan anak muda milenial sebagai gula sehat yang digunakan untuk minuman kopi atau pelapis roti bagi kalangan menengah ke atas. Meskipun kawung sudah lama disuarakan oleh berbagai kalangan tentang pentingnya mengembangkan sumber energi ekonomi, maupun energy terbarukan bagi masyarakat yang mengusung ekonomi kerakyatan khususnya di Indonesia, kita dan pemerintah tidak memberi respons secara cepat.
Kemungkinan-kemungkinan Krisis energi akhir tahun 2004/2005 yang diawali dengan sebuah fenomena kekacauan iklim telah berhasil memicu kesadaran semua pihak untuk mengembangkan energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Dalam konteks ini, kawung memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber utama bioenergi yang ramah lingkungan di samping sebagai penghasil pangan dan tanaman konservasi dunia.
Pada kesempatan ini kami Masyarakat Kawung Indonesia (MKI) mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk kembali mencintai kawung/aren mengingat bahwa tanaman kawung hari ini belum dibudidayakan secara meluas, optimal dan tidak jadi suatu komoditas yang diperioritaskan pengembangannya. Masyarakat Kawung Indonesia merespons sebuah kegelisahan ini dari mengumpulkan akurasi data yang tersedia di berbagai elemen baik hulu (pemerintah) maupun hilir (petani) yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kawung Indonesia kedepan. MKI pun ketika berbicara pengetahuan dan informasi tentang budidaya kawung masih sangat langka, untuk hal tersebut perlu sinergisitas antara pemerintah, Para pegiat Kawung/aren dan masyarakat pada berbagai kegiatan pengembangan penelitian terhadap pengembangan komoditas.
Dari berbagai kegelisahan tersebut jika fenomena kawung serta sekelumit permasalahan hilir lainnya tak disikapi secara bijaksana, masalah baru pun tak terhindarkan. Banyak kecemasan tersendiri bahwa produksi bahan baku untuk kebutuhan pasar akan bersaing dengan produksi yang sudah terintegrasi. Dalam dunia bisnis dewasa kini harga tebu dan jagung melonjak tinggi, menjadi produk eksklusif yang susah dijangkau rakyat kecil karena sudah terintegrasi dengan baik, Masyarakat terutama petani kawung kerap dihadapkan pada dilema, jika mereka nanti tak mati kepanasan oleh global warming, namun akan mati akibat kelaparan kelaparan dikarenakan kebijakan- para pejabat yang tak bersahabat dengan Kawung.
“Kun Kal Kawung Wa Kun Kal Maung, Sok Sanajan Nangtung Saurang Tetep Maung”
*) Penulis Tinggal di Kabupaten Garut