Dejurnal.com, Bandung – Larangan study tour yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menjadi polemik dan menuai berbagai tanggapan, karena bertentangan dengan kebijakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti yang tetap memperbolehkan study tour dengan syarat tertentu.
Kendati demikian, tentunya Dedi Mulyadi memiliki alasan utama dibalik pelarangan study tour di Jawa Barat. Ia pun menegaskan bahwa dirinya tidak menolak konsep study tour secara keseluruhan. Namun berdasarkan pengamatannya, kegiatan ini lebih sering menjadi ajang rekreasi daripada perjalanan yang memiliki nilai edukatif.
“Saya ingin memastikan bahwa pendidikan di Jawa Barat benar-benar berfokus pada substansi, bukan sekadar perjalanan tanpa esensi,” tegasnya.
Dedi menilai bahwa banyak sekolah yang menyelenggarakan study tour tanpa memiliki tujuan pembelajaran yang jelas, sehingga kegiatan tersebut lebih menyerupai wisata biasa daripada program pendidikan yang terencana.
Oleh karena itu, ia mengambil langkah tegas untuk melarang study tour guna memastikan pendidikan tetap berorientasi pada kualitas dan substansi.
Alasan utama pelarangan study tour, lanjut Dedi Mulyadi, dampaknya terhadap ekonomi keluarga. “Banyak orangtua siswa yang harus mengeluarkan biaya besar untuk membiayai perjalanan ini, yang tidak jarang mencapai jutaan rupiah per anak,” ujarnya.
Ia menyayangkan kondisi di mana anak-anak berwisata di tengah kesulitan ekonomi yang dialami oleh orangtua mereka.
“Tidak boleh anak piknik di atas rintihan orangtua. Saya tahu bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Jawa Barat,” ungkap Dedi.
Selain itu, ia juga mengkritisi potensi praktik bisnis yang melibatkan agen perjalanan, yang dinilai lebih mengutamakan keuntungan daripada manfaat pendidikan bagi siswa.
Dedi pun menyoroti dampak sosial dari study tour, khususnya terkait kesenjangan antara siswa yang mampu dan yang tidak. Dalam banyak kasus, siswa yang tidak mampu mengikuti study tour akan merasa minder dan terasing dari teman-teman sekelasnya. Hal ini dapat menciptakan perbedaan status sosial di lingkungan sekolah, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam pendidikan.
Dengan adanya larangan ini, Dedi berharap tidak ada lagi diskriminasi atau tekanan sosial terhadap siswa yang tidak bisa ikut serta dalam study tour hanya karena keterbatasan finansial.***