Dejurnal.com, Sukabumi – Japri dan Atikah merupakan salah satu pasutri warga Kampung Talanca, yang merasa risau akan nasib ke depan, karena mendapatkan informasi bahwa lahan yang di tumpanginya akan direlokasi atau jelasnya gubug yang ditempati akan digusur.
Pasutri yang mendiami lahan tersebut sudah tergolong lebih dari 10 tahun lamanya. Tinggal di tanah tersebut dengan modal nekat, kesehariannya yang harus melawan rasa takut tergerus ombak laut, yang tidak jauh dari tempat yang mereka diami selama ini.
Pasutri paruh baya ini bisa bertahan hidup di lahan milik orang lain dengan kata bijaknya tumpang sari atau membeli garapan dari orang terdahulunya, dan bergantung hidup dari memulung memulung rongsok, pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan di sisa usianya.
Selain mengandalkan rongsok, lelaki paruh baya ini bersama sama istrinya mengumpulkan kayu bakar yang terseret arus ombak laut ke tepian. Mereka ambil dan kumpulkan untuk di jual lagi ke tengkulak dengan harga hanya cukup buat makan saja.
“Itu pun kalau ada kayunya dan masuk kriteria, karena yang laku bukan bambu,” ujar Japri, yang pernah viral di media sosial ketika kehidupannya diunggah oleh salah satu anak muda sebagai pegiat sosial.
Kehidupan Japri dan Atikah pernah viral dan menjadi perhatian publik, dilabeli bahwa mereka tinggal di “Kampung Dayak”. Isitlah kampung dayak ialah mereka tinggal tidak menetap karena harus berpindah pindah lokasi tempat tinggal mereka alias nomaden disebabkan terendam air laut di saat pasang melanda dan tentunya mereka pun harus menjauh meninggal kan tempat tersebut untuk menyelamatkan diri beserta keluarganya.***Bayu