Dejurnal.com, Garut – Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi setiap anak untuk tumbuh, belajar, serta menggapai cita-citanya. Namun, kisah memilukan datang dari salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Kabupaten Garut, ketika tindakan tidak pantas seorang Kepala Sekolah justru mencoreng makna luhur pendidikan itu sendiri.
Peristiwa yang terjadi pada Rabu, 24 September 2025, menyisakan luka mendalam bagi seorang ibu dan anaknya yang baru saja memulai perjalanan pendidikan di bangku kelas 7 SMP. Anak tersebut harus menelan pil pahit ketika ditegur keras oleh oknum Kepala Sekolah hanya karena mengenakan seragam olahraga Sekolah Dasar (SD) lamanya.
Awalnya, sang anak menjelaskan dengan jujur bahwa ia belum memiliki seragam olahraga SMP karena orang tuanya belum mampu membayar biaya seragam. Namun, alih-alih mendapat pengertian dan empati, Kepala Sekolah justru menegurnya untuk kedua kalinya dengan ucapan yang menyakitkan.
“Makanya kamu bayar, kalau tidak kamu dibalikin lagi ke SD.” ujar anak berinisial Id ini menirukan ucapan Kepala SMP dimana ia sekolah.
Mendengar cerita itu, sang ibu tak kuasa menahan amarahnya. Sebagai orang tua, ia merasa terluka dan dipermalukan. Bagaimana tidak, anak yang seharusnya disambut hangat di lingkungan sekolah malah diperlakukan tidak pantas hanya karena persoalan seragam.
Lebih ironis lagi, menurut pengakuan orang tua siswa lainnya, siswa yang belum melunasi biaya seragam atau iuran sekolah bahkan diperlakukan berbeda saat upacara. Mereka dipisahkan barisannya dari siswa lain yang sudah membayar, dengan alasan “agar terlihat seragam.”
Padahal, aturan pemerintah sangat jelas melarang praktik semacam ini.
Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 menyebutkan bahwa pengadaan seragam sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua atau wali murid, dan pihak sekolah tidak boleh memaksa pembelian seragam atau mengaitkannya dengan proses akademik seperti PPDB atau daftar ulang.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 juga menegaskan bahwa sekolah hanya boleh menyampaikan ketentuan warna dan corak seragam, sedangkan pembeliannya dilakukan secara mandiri sesuai kemampuan ekonomi keluarga.
Tak hanya itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pun pernah menyampaikan imbauan keras kepada seluruh satuan pendidikan agar tidak melakukan pungutan yang memberatkan orang tua siswa. Bahkan Bupati Garut juga mengingatkan agar pihak sekolah tidak menjadi alasan anak-anak di Garut putus sekolah karena biaya.
Sayangnya, pesan moral tersebut seakan tidak diindahkan oleh sebagian oknum pendidik yang lupa akan esensi profesinya. Kepala sekolah seharusnya menjadi teladan dan pelindung bagi siswa, bukan justru menambah tekanan psikologis hanya karena hal sepele seperti seragam.
Kisah ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan, khususnya di Kabupaten Garut. Sudah seharusnya pihak Dinas Pendidikan turun tangan menyelidiki kasus ini dan memberikan sanksi tegas kepada oknum yang terbukti melakukan pelanggaran. Karena pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai akademik, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan penuh kasih, empati, dan keadilan bagi setiap anak tanpa terkecuali.
Seragam hanyalah kain yang menutupi tubuh.Tapi perlakuan tidak adil akan meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar pakaian.***Red