Ciamis, deJurnal,- Universitas Galuh (UNIGAL) melalui Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) terus memperkuat perannya dalam diplomasi budaya dan literasi global melalui program Collaborative Community Service Excellence yang melibatkan Huachiew Chalermprakiet University (HCU) Thailand.
Kolaborasi internasional yang mengangkat tema Integrating Kagaluhan Culture and Sufficiency Economy for Sustainable Literacy and Community Empowerment ini memasuki tahap signifikan dengan lahirnya konten budaya digital dan pengembangan platform “Galuh Thaya”.
Program lintas negara tersebut memadukan dua filosofi besar, Tri Tangtu di Buana dari budaya Kagaluhan di Ciamis dan Sufficiency Economy Philosophy (SEP) dari Thailand. Integrasi dua nilai tersebut menjadi dasar penguatan literasi budaya, literasi kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat berbasis digital.
Menurut Bdn. Widya Maya Ningrum, SST., M.Kes., M.Tr.Keb, salah satu narasumber utama sekaligus tim eksekutif pengabdian, kolaborasi ini membuktikan bahwa budaya lokal dapat menjadi jembatan diplomasi akademik dan inovasi teknologi.
“Kami ingin memastikan bahwa nilai-nilai Kagaluhan tidak hanya didokumentasikan, tetapi dihidupkan kembali melalui kolaborasi internasional dan teknologi digital. Melalui kemitraan dengan Thailand, kami membuka ruang pertukaran budaya yang lebih luas dan berkelanjutan,” ujarnya
Lebih lanjut Maya menjelaskan bahwa tantangan global terhadap memudarnya nilai lokal menuntut pendekatan baru. Platform digital menjadi strategi utama agar budaya Galuh tetap relevan bagi generasi muda di Indonesia dan Thailand.
Serangkaian kegiatan telah dilaksanakan sejak Oktober hingga November 2025, salah satunya Workshop Internasional Literasi Budaya dan Pemberdayaan Kesehatan yang diikuti 450 peserta dari dua negara.
“Kegiatan tersebut menghasilkan setidaknya 50 konten digital berupa video, narasi sejarah, infografik, dan dokumentasi budaya Kagaluhan – Thailand,” tuturnya.
Menurut Maya konten-konten tersebut nantinya akan menjadi materi awal pada platform digital “Galuh Thaya”.
“Literasi budaya tidak hanya bicara tentang sejarah, tetapi bagaimana generasi muda mampu memahami, merasakan, dan menarasikan kembali identitas budayanya. Kolaborasi ini membangkitkan semangat itu,” imbuhnya
Maya mengungkapkan tim kolaborasi saat ini sedang menuntaskan pengembangan Galuh Thaya, sebuah digital heritage platform yang akan menjadi repositori budaya bilingual Indonesia–Inggris.
Platform tersebut dirancang dengan fitur:
– Repositori budaya digital
– Sistem unggah dan kurasi komunitas (community co-creation)
– Peta budaya dan metadata
– Modul pembelajaran lintas negara
– Konten berbasis Tri Tangtu di Buana dan SEP Thailand
Maya menilai platform tersebut sebagai “tonggak baru diplomasi budaya digital”.
“Galuh Thaya bukan hanya arsip digital. Ini adalah ruang belajar, ruang kolaborasi, dan ruang masa depan bagi budaya Galuh agar dapat diakses dunia,” jelasnya.
Program juga melibatkan Disbudpora Kabupaten Ciamis yang menyediakan data budaya lokal dan menghadirkan narasumber.
“Selain itu, kita melibatkan puluhan siswa SMA sebagai young cultural ambassadors yang berkolaborasi membuat konten digital bersama mahasiswa UNIGAL dan HCU,” jelas Maya
Maya menyampaikan ada tahapan lain yang sedang dilaksanakan dari kolaborasi internasional tersebut meliputi:
– Peluncuran Beta Platform Galuh Thaya pada awal 2026
– Penyelesaian modul bilingual literasi budaya
– Program Training of Trainers (ToT)
– Penyelenggaraan International Seminar on Local Wisdom and Health Innovation pada Desember 2025
“Kolaborasi ini tidak berhenti pada workshop. Kami menyiapkan fase penguatan, pelatihan, dan festival budaya virtual agar sinergi Indonesia–Thailand terus tumbuh,” kata Maya.
Maya menyebut platform Galuh Thaya merupakan upaya konkret pelestarian budaya berbasis teknologi.
“Galuh Thaya akan menjadi rumah besar untuk belajar budaya. Tidak hanya menyimpan arsip, tetapi menjadi ruang interaksi antar generasi dan antar negara,” pungkasnya. (Nay Sunarti)









