Dejurnal.com, Garut – Ketua Koordinator Forum Pendidikan Profesi Guru (FPPG) Prajabatan se-Indonesia, Fajar, yang berdomisili di Garut, menyampaikan sejumlah aspirasi setelah mengikuti audiensi dengan Komisi 4 DPRD Kabupaten Garut, di Ruang Rapat Paripurna DPRD Garut, Kamis (6/11/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Fajar menjelaskan bahwa di Kabupaten Garut terdapat 334 lulusan PPG Prajabatan yang hingga kini belum mendapatkan kejelasan status. Sebagian dari mereka sudah aktif mengajar, baik di sekolah swasta maupun negeri, namun belum bisa terdaftar dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
“Jumlah lulusan PPG Prajabatan yang belum mendapatkan kejelasan di Garut ada 334 orang. Sebagian sudah mengajar di sekolah, tapi belum bisa masuk Dapodik. Alasannya, menurut dinas, karena terhalang oleh regulasi dari Kementerian yang melarang pengangkatan guru honorer baru,” ujar Fajar.
Fajar menilai kebijakan tersebut perlu dikaji ulang, sebab para lulusan PPG Prajabatan telah memiliki Sertifikat Pendidik, yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di mana salah satu syarat utama menjadi guru profesional adalah memiliki sertifikat pendidik.
“Kami ini sudah bersertifikat pendidik, sesuai amanat undang-undang. Tapi di sisi lain, kami justru tidak mendapatkan ruang untuk diakui secara legal di sistem pendidikan daerah,” tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa seleksi PPG Prajabatan bukanlah proses yang mudah. Para peserta harus melalui tahapan administrasi, tes substantif, hingga wawancara, sebelum dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa program PPG Prajabatan.
“Seleksinya sangat ketat. Kami harus melalui beberapa tahapan hingga akhirnya lulus. Bahkan setelah lulus pun, masih ada ujian lanjutan. Jadi ini bukan program instan, tetapi program selektif yang melahirkan guru-guru pilihan,” tegasnya.
Fajar menjelaskan, PPG Prajabatan merupakan program resmi pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang memberikan beasiswa penuh bagi peserta, meskipun biaya hidup sehari-hari ditanggung sendiri oleh mahasiswa.
“Kami ini orang-orang pilihan, hasil seleksi nasional. Dibiayai negara, tapi tetap berjuang secara mandiri untuk menyelesaikan studi. Karena itu, kami berharap ada kejelasan nasib setelah kami lulus,” katanya.
Kekhawatiran juga muncul karena pada tahun 2026 mendatang, formasi guru honorer sudah tidak akan dibuka lagi, seiring dengan rencana pemerintah untuk menyisakan hanya tiga status pegawai, yakni PNS, P3K, dan tenaga baru yang direkrut langsung oleh pemerintah pusat.
“Kami mendorong pemerintah daerah agar memberikan kebijakan khusus bagi lulusan PPG Prajabatan sebelum 1 Januari 2026. Karena setelah itu, formasi honorer sudah tidak ada lagi,” ungkap Fajar.
Ia berharap dukungan dari DPRD Kabupaten Garut agar para lulusan PPG Prajabatan di Garut dapat diakui secara legal melalui Dapodik, mendapatkan NRG (Nomor Registrasi Guru), serta kesempatan mengikuti seleksi P3K.
“Kami ingin diakui secara resmi, agar bisa masuk Dapodik, mendapatkan NRG, dan berhak ikut seleksi P3K. Kami tidak menuntut lebih, hanya ingin hak kami sebagai guru bersertifikat diakui,” tutupnya.
Fajar juga menekankan bahwa program PPG Prajabatan merupakan bentuk upaya pemerintah mencetak guru profesional tanpa intervensi nepotisme atau kepentingan politik. Karena itu, ia berharap komitmen bersama antara legislatif, eksekutif, dan pemangku kepentingan pendidikan dapat memperjuangkan keadilan bagi para lulusan PPG Prajabatan di Kabupaten Garut.***Willy












