Dejurnal.com, Garut – Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Garut Masa Sidang I Tahun Sidang 2025 pada tanggal 28 November Tahun 2025 dalam rangka Pembahasan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Tahun Anggaran 2026 serta lima raperda lain menjadi sorotan publik. Pasalnya, pada saat sidang paripurna sejumlah legislator meninggalkan ruangan sidang sehingga hanya tersisa 17 anggota DPRD Kabupaten Garut yang masih bertahan sampai ditutup secara resmi oleh H. Subhan Fahmi selaku pimpinan sidang paripurna.
Pantauan dan informasi yang diterima dejurnal.com, 17 legislator yang bertahan di sidang paripurna sampai akhir ialah Aris Munandar, H.S. Fahmi, Ayi Suryana, Dila Nurul Fadilah, Hj. Mila Meliana, Luqi Sa’adilah Farindani, Aji Kurnia, Didin Mauludin, Lulu Gandhi Nan Rajati, Asep Mulyana (Oco), Hj. Rini Sri Rahayu, Hikmat Purjana, Imamudin Kamil, Endang Saepudin, Nuri Nurdwi Hikmayanti, Ghea Afrilia dan Mira Lestari Fitriani.
Kendati agenda Sidang Paripurna selesai dan disebutkan kuorum berdasarkan jumlah daftar hadir dan tanda tangan Anggota DPRD sejumlah 45 orang, namun kontroversi tetap muncul atas adanya aduan dari beberapa pihak ke Badan Kehormatan (BK) yang menganggap bahwa pembahasan rapat paripurna ini dianggap mencederai marwah konstitusi dan legitimasi DPRD Kabupaten Garut. Lantas publik bertanya atas fenomena tersebut, apakah keputusan yang dihasilkan dalam sidang paripurna itu sah?
Mantan Bupati Garut, Dr. H. Rudy Gunawan, S.H., M.H., M.P. memberikan pandangan bahwa legitimasi pengesahan Perda APBD tahun 2026 sudah melalui proses banggar dan TAPD, substansinya sah karena disetujui di sidang paripurna dan saat sidang dibuka sudah memenuhi kuorum
“Cuma pada saat berlangsung sidang paripurna mereka (sebagian legislator, red) ngacir,” ujarnya kepada dejurnal.com, Selasa (9/12/2025).
Rudy menekankan bahwa sebelum aksi “ngacir” itu terjadi, seluruh fraksi telah menyampaikan kesimpulan dan kata akhir sebagai bentuk persetujuan.
“Dengan demikian persetujuan politik terhadap Perda APBD tahun 2026 sesungguhnya sudah final,” ujarnya.
Kendati demikian, Rudy menilai tindakan meninggalkan ruang sidang merupakan cerminan etika personal anggota DPRD yang bersangkutan.
“Itu soal etika individu, profesionalisme, dan tanggung jawab. Sikap seperti itu tidak memengaruhi legalitas keputusan, tetapi mencerminkan kualitas moral dan komitmen mereka sebagai wakil rakyat,” tegasnya.***Red













