Dejurnal.com, Garut — Program reforma agraria di Kabupaten Garut, khususnya Desa Tegalgede, Kecamatan Pakenjeng berada pada titik nadir. Pasalnya, distribusi 1.059 sertifikat tanah hasil pelepasan Hak Guna Usaha (HGU) PT Condong yang seharusnya menjadi bagian dari percepatan reforma agraria nasional, kini terancam tertunda dan berpotensi memicu konflik sosial.
Hal itu disampikan tokoh masyarakat Garut Selatan sekaligus Kuasa Hukum Pemerintah Desa Tegalgede, Dr. KH. Asep Dadang, S.H., S.IP., S.Pd.I., M.Si., dalam rilis yang diterima dejurnal.com, Selasa (30/12/2025.
“Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Bupati Garut agar tidak ragu menjalankan mandat negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, jika negara ragu hari ini, yang dipertaruhkan bukan sekadar administrasi pertanahan, melainkan kepercayaan rakyat terhadap kehadiran negara itu sendiri,” tandasnya.
Asep Dadang menegaskan bahwa seluruh tahapan reforma agraria di Tegalgede telah ditempuh secara sah dan berlapis, mulai dari pelepasan HGU, verifikasi sosial, hingga musyawarah masyarakat yang telah disepakati sejak April 2022 sampai kepada terbitnya Keputuasan Bupati Garut Nomor 100.3.3.2/KEP.469=DISPERKIM/2025.
“Namun hingga saat ini sertifikat tanah yang menjadi hak konstitusional warga belum juga didistribusikan, apakah ada keraguan atas keputusan yang telah diterbitkan pemerintah sendiri?” sesalnya.
Menurut Asep Dadang, keterlambatan tersebut bukan disebabkan kekurangan dasar hukum, melainkan akibat ketakutan birokrasi yang berlebihan serta tekanan opini yang tidak proporsional sampai kepada permintaan pembatalan Keputusan Bupati Garut.
“Lantas apakah ketakutan ini akan dijadikan landasan? Sementara lebih dari seribu warga telah menunggu puluhan tahun. Jangan sampai hak rakyat dikorbankan demi rasa aman semu pejabat,” ujarnya.
Asep Dadang menegaskan bahwa reforma agraria bukan kebijakan opsional, melainkan perintah langsung UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, PP No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Perpres No. 62 Tahun 2023 dan Permenko Perekonomian No. 11 Tahun 2024 tentang penguatan peran GTRA
“Penundaan distribusi sertifikat tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikualifikasikan sebagai maladministrasi dan pelanggaran asas kepastian hukum,” tegasnya.
Asep Dadang juga menilai Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Garut yang seharusnya menjadi motor percepatan, bukan sekadar struktur administratif tanpa daya eksekusi.
“GTRA dibentuk untuk menyelesaikan, bukan menunda. Jika GTRA pasif, reforma agraria hanya menjadi slogan,” tegasnya.
Dalam konteks Tegalgede, menurut Asep Dadang, negara sejatinya bukan hanya memberi tanah, melainkan mengembalikan hak rakyat yang secara hukum dan sosial telah diakui.
“Reforma agraria adalah janji negara. Jika janji ini diingkari, yang lahir bukan ketertiban, melainkan kekecewaan kolektif,” pungkas Asep Dadang.***Red














