Dejurnal.com, Bandung – Dana Desa adalah dana APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan diprioritaskan untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Tujuan pemberian dana desa adalah, pertama, meningkatkan pelayanan publik di desa; kedua, mengentaskan kemiskinan; ketiga, memajukan perekonomian desa; keempat, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa dan kelima, memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Walaupun bertujuan mulia, fakta saat ini membuktikan banyak terjadi kasus korupsi dana desa yang utamanya dilakukan oleh kepala desa.
Bagaimana cara kepala desa melakukan korupsi dana desa? Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu merilis 12 modus korupsi dana desa. Modus ini disimpulkan dari hasil penelitian peneliti ICW Egi Primayoga.
Berikut diuraikan ke-12 modus korupsi dimaksud :
1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Ini bisa diantisipasi jika pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa. Misalnya, pengadaan bahan bangunan di toko bangunan yang ada di desa sehingga bisa melakukan cek bersama mengenai kepastian biaya atau harga-harga barang yang dibutuhkan.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh desa. Modus seperti ini banyak dilakukan karena relatif tersembunyi. Karena itulah APBDes harus terbuka agar seluruh warga bisa melakukan pengawasan atasnya.
3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan. Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi hingga untuk membayar biaya S2. Faktor budaya di desa menjadi salah satu penghamat pada kasus seperti ini sehingga sulit diantisipasi.
4. Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan (distrik) atau kabupaten. Ini juga banyak terjadi dengan beragam alasan. Perangkat desa tak boleh ragu untuk melaporkan kasus seperti ini karena desa-lah yang paling dirugikan.
5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan utuk pelesiran saja.
6. Penggelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa. Jika modus ini lolos maka para perangkat desa yang honornya digelembungkan seharusnya melaporkan kasus seperti ini. Soalnya jika tidak, itu sama saja mereka dianggap mencicipi uang haram itu.
7. Penggelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bia dilihat secara fisik tetapi harus pula paham apa saja alokasi yang telah disusun.
8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur dana menyangkut pendapatan dari sektor pajak ini.
9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkan secara pribadi. Lagi-lagi faktor budaya menjadi salah satu penghambat kasus seperti ini sehingga seringkali terjadi pembiaran.
10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa. Publik harus tahu alokasi pendanaan dana desa agar kasus ini tidak perlu terjadi.
11. Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa. Bisa ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai larangan menggunakan jasa kontraktor dari luar.
12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.
Demikian 12 modus korupsi dana desa yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia versi ICW.***Red