Oleh : Muhamad Fajar Pramono *)
ALHAMDULILAH, saya bergabung dan mengabdi di Perguruan tinggi di Pondok Modern Gontor sejak 1996 (24 tahun). Enam tahun setelah lulus ilmu politik FISIP UNAIR Surabaya. (Seangkatan Pak Asfar. Adek kelas 1 tahun bu Khofifah, Gubernur). (Jadi bukan lulusan dan kader Pondok Gontor. Tiyang Njawi.
Alhamdulillah sekalipun tiyang njawi juga sempat sebagai staf khusus Pak Kyai Abdullah Sukri dalam bidang politik lokal dan pemerintahan daerah dari zaman akhir Bupati Markum (2003) sampai Bupati Muhadi (2014). Tidak berlanjut karena beliau sakit.
Dokumennya lahir buku saya Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah – Studi Kritis Pemerintahan Ponorogo Tahun 2000-2012.
Artinya, yang ingin saya sampaikan bahwa untuk memahami Gontor tidak boleh sekilas dan emosional, termasuk dalam politik Gontor.
1) Banyak orang, termasuk orang Gontor sekalipun kurang tepat melihat Gontor dalam politik. Sering melihat politik secara kuantitatif/ statistik. Memang ada benarnya kalo dihitung betul dlm konteks Ponorogo tidak lebih dari 30 ribu suara. Jadi sering over-estimate. Dikiranya macan, padahal kucing, atau sebaliknya.
Artinya, siapapun calon Bupati bersama atau tanpa Gontor kemungkinan tetap jadi. Karena hanya sekitar 30 ribu suara. Itupun harus all out.
2) Namun kalo kita hanya melihat politik secara kuantitatif/ statistik juga kurang tepat, lebih-lebih dalam memposisikan politik Gontor.
Karena Gontor berbeda dengan yang lain. Tidak peduli siapapun yang jadi Bupati di Ponorogo. Krn siapapun Bupatinya Gontor tetap eksis dan survival, bahkan sebelum Indonesia merdeka (1926).
Bagi Gontor siapapun Bupatinya. Yang penting tidak ngrusuhi karena tidak berharap APBD dan juga tdk menolak. Tanpa atau dengan APBD Gontor tetap berjalan. Termasuk yang coba-coba ngrusuhi Gontor.
Coba kita hitung santri Gontor ada 19 cabang (satu manajemen) dan ada sekitar 400 pondok alumni yangg tersebar di Indonesia.
Katakanlah 25 ribu santri dari Pondok cabang saja. Jika setiap santri per bulan berkontribusi kotor Rp 1 juta per santri (konsumsi, admitrasi, buku, dll). Akan memperoleh Rp 25 milyar per bulan atau Rp 300 milyar per tahun. Itu hanya dari santri. Dan kembali pada kepentingan santri.
Belum termasuk unit usaha LATANSA, perkebunan dan bantuan dari berbagai pihak dalam dan luar negeri, baik per seorangan atau lembaga/ pemerintah serta usaha lain. Bahkan ada satu orang biasa membantu 1 gedung atau Masjid. (Nilainya bisa sekitar Rp 20 milyar). Jauh lebih besar yg diterima dari Santri dan cukup untuk kebutuhan operasional pondok, Asatidzah, guru, dosen dan karyawan. Bahkan bantuan2 sosial yg lain ke masyarakat. Jika santri tidak bayar. Gontor tetap bisa jalan.
Ini yang tidak/ kurang dihitung/ diperhatikan oleh yang lain. Bukan jumlahnya. Tapi dengan potensi Gontor tersebut melahirkan sikap yang mandiri dan percaya diri.
Maka juga tidak heran dengan potensi Gontor secara politik kualitatif orang pusat lebih melihat Gontor daripada Pemkab Ponorogo. Itu dari masa ke masa. (Semua Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Jokowi pernah bersambang di Gontor dan belum tentu mampir di Pemkab Ponorogo).
Persoalan inilah yang sering menjadi masalah antara Gontor dan Pemkab Ponorogo, termasuk era sekarang.
Selama saya mendampingi Pak Kyai Abdullah Sukri baik-baik saja dengan Bupati Ponorogo, Pak Markum, Pak Muryanto, Pak Muhadi dan Pak Amin.
Mulus-mulus saja juga tidak. Tetap ada masalah suatu kali. Tapi tetap bisa diatasi/ diselesaikan. Bukan saling memberi secara materi. TIDAK. Tapi saling memahami posisinya masing. Jika ada yang ngalah. Bukan suatu kehinaan. Tidak saling ngrusuhi. Pemkab jalan sebagaimana biasa. Gontor juga berjalan sebagaimana biasa.
Jadi sangat rugi ngrusuhi, apalagi memusuhi Gontor. Tdk ada gunanya. Tdk ada yg menang atau kalah melawan Gontor. Krn Gontor bukan kekuatan politik. Semoga kita semua paham yang saya maksud.
Kelurahan Cokromenggalan – Ponorogo, 14 Agustus 2020
(Tulisan ini pendapat pribadi, tdk mewakili lembaga apapun, termasuk UNIDA Gontor).
*) Penulis Dosen UNIDA Gontor