Dejurnal.com, Garut – Polemik atas terbitnya Perda Kabupaten Garut No. 14 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Toleransi Dalam Kehidupan Bermasyarakat semakin menghangat di masyarakat, apalagi setelah Aliansi Masyarakat Garut Anti Radikalisme dan Intoleransi (Almagari) menyerukan ajakan aksi pada tanggal 20 Juli 2023 mendatang.
Beberapa elemen masyarakat pun bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menjadikan Perda Kabupaten Garut No. 14 Tahun 2022 menjadi polemik sehingga menyerukan aksi?
Ketua Hukum dan Hak Asazi Manusia Almagari, Zamzam Zainulhaq menjelaskan hal ihwal polemik terbitnya Perda sampai kepada seruan aksi.
“Bagaimana kami tidak kecewa , ALMAGARI selaku masyarakat yang mengusulkan PERDA anti Radikalisme dan Intoleransi berubah menjadi Perda Toleransi dan ternyata sudah disahkankan pada 12 Desember 2022, artinya itu sekitar 7 bulan yang lalu,” terang Zam Zam dalam keterangan tertulis yang diterima dejurnal.com, Sabtu (15/7/2023).
Baca juga : Polemik Terbitnya Perda Garut No. 14/2022 Berbuah Seruan Aksi 20 Juli 2023, Turunkan Sepuluh Ribu Massa?
Padahal, lanjutnya, beberapa Minggu yang lalu kami masih membahas tentang Draft PERDA tersebut dengan beberapa pihak, terkait tentang judul, isi dan kapan kira -kira waktu pengesahan, walaupun ada beberapa point – point yang sudah menjadi kesepakatan di internal ALMAGARI yang menjadi Draft PERDA waktu itu.
“Ketika kami menanyakan tentang kelanjutan Draft PERDA tersebut kepada pihak terkait, ternyata PERDA yang menjadi tuntutan kami sudah disahkan, padahal PERDA yang lainnya dalam beberapa hari saja sudah tersosialisasikan ke masyarakat,” tandasnya.
Hal senada disampaikan Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Almagari, Rd. Mila Melianti bahwa Perda tentang toleransi tidak kami butuhkan karena seolah-olah ada masalah tentang kehidupan Toleransi di Masyarakat Garut.
Baca juga : Kecewa Usulan Raperda Anti Radikalisme dan Intoleransi Berubah Jadi Perda Toleransi, Almagari : Unras Lagi ?
“Padahal masalah yang sesungguhnya adalah, ada sebagian orang atau kelompok di wilayah Kabupaten Garut yang secara terstruktur, sistematis dan masif melakukan tindakan Radikalisme dan Intoleransi dan orang-orang atau kelompok ini telah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat,” tandasnya.
Sehingga sekarang, lanjut Mila, kami selaku masyarakat sudah tidak lagi mempercayai para pengambil kebijakan di Kabupaten Garut, ketika etika berpolitik dan bernegara sudah tidak dipakai lagi. “Mau di bawa kemana masyarakat Garut bila etika sudah tidak dipakai lagi?” cetusnya.
Terkait tentang adanya kewenangan daerah dan pusat, Ketua Umum ALMAGARI KH. A. Abdul Mujjib menambahkan bahwa pihaknya faham urusan Radikalisne dan Terorisme memang menjadi kewenangan absolut pusat.
“Namun yang kami tuntut dan sangat dibutuhkan masyarakat Garut supaya ada aturan yang bisa mencegah terjadinya Radikalisme dan Intoleransi yang mengarah kepada tindakan Terorisme, seperti kota Bandung yang telah memiki Peraturan Wali Kota tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorime.
“Beberapa tahun yang lalu ketika kami berkunjung ke suatu daerah di Garut Selatan, ada satu kampung yang tidak pernah mengibarkan Bendera Merah Putih ketika 17 Agustus, ini membuktikan begitu seriusnya persoalan Radikalisne dan Intoleransi di kabupaten Garut yang bisa mengarah pada tindakan terorisme bahkan mengarah pada sparatisme,” pungkas kyai yang akrab dikenal Ceng Mujib.***Red