Dejurnal.com, Garut — Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Garut (DKKG), Irwan Hendarsyah menilai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Garut dalam mengimplementasikan kebudayaan lebih mengedepankan satu sisi seni pertunjukan dan mengabaikan substansi objek pemajuan kebudayaan yang lebih dalam dan berakar.
“Salah satu bidang garapan di Disparbud ini Kebudayaan dimana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 ini 10 objek pemajuan kebudayaan yang mengedepankan ekosistem kebudayaan seperti ritus, bahasa, pengetahuan lokal, hingga manuskrip dan tradisi lisan,” tandas Ketua DKKG yang akrab dipanggil Jiwan dalam rilis tertulis yang diterima dejurnal.com, Sabtu (14/6/2025).
Menurut Jiwan, kebudayaan yang sering ditonjolkan hanya dari sisi seremonial seni pertunjukan tanpa penghormatan terhadap mandat dan tugas dalam menjaga, mengembangkan, dan mewariskan kebudayaan lokal secara utuh.
“Bidang Kebudayaan garapan Disparbud tentunya harus mampu mengakomodir 10 objek pemajuan kebudyaan, kan namanya juga bidang kebudayaan bukan bidang kesenian,” ujarnya.
Jiwan menilai, DKKG sebagai stake holder yang fokus terhadap kebudayaan dilibatkan hanya sebagtai tempelan dalam kirab atau kegiatan seremonial lainnya, tanpa penghormatan terhadap mandat dan tugasnya dalam menjaga, mengembangkan, dan mewariskan kebudayaan lokal secara utuh.
“Dalam kegiatan para kasepuhan, pegiat budaya selalu hadir dengan penuh niat, namun tanpa peran nyata, ini kan sangat menyakitkan,” tambahnya.
Jiwan khawatir ada stigma yang muncul bahwa kebudayaan itu hanya pertunjukan seni modern, bahkan jika tidak tersentuh nilai budaya yang syarat dengan nilai peradaban bisa kembali kecolongan seperti giat tahun sebelumnya dengan adanya peserta yang menampilkan pakaian tak senonoh seperti kaum LGBT dan menjurus pada erotisme.
“Ini salah satu bagean dari penataan kehidupan manusia agar berbudi pekerti Hinga menjadi tuntunan yang tak beradab. Sementara kebudayaan adiluhung, yang membentuk karakter dan budi pekerti, dikesampingkan. Ia pun menyatakan bahwa kebudayaan Garut tidak boleh direduksi menjadi sekadar tontonan namun harus dihormati sebagai pilar peradaban. Dan jika dinas yang membidangi kebudayaan sendiri sudah kehilangan visi dan nurani, maka masyarakat harus bersuara, jangan sampai arti dan nilai kebudayaan ini menjadi kehilangan ruh sehingga hanya menonjolkan tontonan,” tandasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa keberpihakan terhadap kebudayaan seharusnya bukan berdasarkan selera atau kedekatan personal, melainkan berdasar mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
“Salah satu contoh ketika giat Anugerah Budaya yang secara jelas tak ada keberpihakan dalam sisi anggaran, padahal Pak Bupati sudah mengintruksikan lewat rapat terbatas untuk bantu kegiatan DKKG. Tapi apa hasilnya? Nol besar,” cetusnya.
Sebagai langkah strategis, Jiwan mendorong Bupati Garut, H. Syakur Amin, untuk segera melakukan sidak dan mengevaluasi total kinerja Disparbud. Ia menyebut pentingnya pelurusan regulasi agar relasi pemerintah dan pemangku budaya berjalan sesuai amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
“Kami tidak mengemis anggaran, kami pengemban nilai. Tapi kalau yang punya kuasa malah lebih peduli pada glitter panggung ketimbang akar budaya, maka kita sedang menulis sejarah pengkhianatan bersama,” pungkasnya.***Raesha