Dejurnal.com, Garut – Polemik lahan wisata Puncak Guha kembali mencuat setelah Komisi II DPRD Garut bersama BPN, Pemkab, serta masyarakat melakukan tinjauan lapangan. Hasil dari kunjungan tersebut kemudian dikawal oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Garut yang menyampaikan berita acara resmi terkait temuan di lapangan.
Ketua GMNI Garut, Pandi Irawan, menegaskan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, sertifikat hak milik (SHM) yang selama ini dipersoalkan tidak berada di kawasan wisata Puncak Guha.
“Untuk saat ini kami sudah menyerahkan berita acara kepada pihak kecamatan, DPRD, dan BPN. Hasil temuan baru menyebutkan bahwa titik koordinat SHM nomor 47 itu berada di Kiara Koneng, bukan di Puncak Guha,” ungkap Pandi saat ditemui dejurnal.com, Selasa (16/9/2025).
Ia menjelaskan, SHM nomor 38 sebelumnya dipecah menjadi tiga, yakni nomor 45, 46, dan 47. Dari ketiganya, dua sertifikat (45 dan 46) sudah melalui proses hukum hingga tahap kasasi. Statusnya di aplikasi BPN pun sudah “hijau” yang berarti clear. Sementara SHM 47 yang sempat menimbulkan polemik, dipastikan berada di Kiara Koneng, bukan di lahan wisata.
Namun, Pandi menilai ada kejanggalan dalam kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurutnya, muncul indikasi ambiguitas dalam proses penentuan titik koordinat lahan.
“Melihat kondisi BPN saat ini, kami mengecam keras kinerjanya. Kepala BPN yang baru harus bisa bekerja sebagaimana mestinya, jangan sampai kebobrokan yang dilakukan periode sebelumnya terulang lagi,” tegasnya.
Selain itu, GMNI juga menyoroti informasi yang beredar bahwa lahan Puncak Guha pernah dijual oleh seorang mantan kepala desa yang kini sudah meninggal dunia.
“Kami pernah mendengar bahwa lahan itu dijual oleh almarhum. Tapi kebenarannya masih simpang siur. Dari pihak keluarga pun tidak memberikan keterangan yang jelas. Hal ini menjadi anomali besar karena menyangkut tanah yang kini dipersoalkan,” papar Pandi.
Lebih jauh, Pandi menegaskan bahwa kawasan Puncak Guha sejatinya merupakan bagian dari cagar alam yang harus dilindungi.
“Di kawasan wisata Puncak Guha terdapat sarang kelelawar di dalam gua. Itu sudah menjadi bukti nyata bahwa kawasan ini adalah cagar alam. Menutup lubang gua sama saja menghilangkan ekosistemnya,” tegasnya.
GMNI menekankan bahwa keberadaan lahan tersebut harus dikembalikan sesuai fungsinya sebagai kawasan konservasi sekaligus aset negara, bukan untuk kepentingan pihak tertentu.
Di tempat yang sama, salah satu warga bernama Yaya menegaskan bahwa warga yang berdagang di Puncak Guha tidak pernah merasa memiliki ataupun ingin menguasai lahan Puncak Guha karena masyarakat sekitar dari dulu juga tahu bahwa Puncak Guha merupakan tanah negara.
“Kami yang berdagang di sini hanya ikut menumpang usaha saja, kalaupun harus ditata dan ditertibkan tentunya kami sangat siap, namun ketika tiba-tiba tanah ini ada yang mengaku dan kemudian kami diusir tentunya kami pun menjadi bertanya-tanya darimana bisa tiba-tiba menyatakan memiliki lahan Puncak Guha,” ujarnya.***Willy