Dejurnal.com, Garut — Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMi) kabupaten Garut menggelar simposium ‘Naratas Awal Islam Ka Garut” yang dihadiri Kepala Kemenag Garut, Para Ketua Ormas Islam, cendekiawan, ulama, pemangku kebijakan, tokoh masyarakat, budayawan, akademisi, hingga pemuda dari berbagai organisasi Islam, bertempat di aula Kementerian Agama (Kemenag) Garut, Rabu (3/12/2025).
Ketua ICMI Garut, Muhtarom, S.Ag mengemukakan tema simposium kali ini sedikit berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh ICMI yang biasa melakukan kajian-kajian teknokratis.
“Simposium Naratas Awal Islam Ka Garut sebuah upaya untuk menyelami awal perkembangan Islam masuk ke Nusantara terutama ke Garut, baik secara historis ataupun antropologis,” ujar Ketua ICMI Garut yang akrab dipanggil Kang Aom.
Alasan hal ini diangkat ke dalam Simposium, Kang Aom menegaskan bahwa Garut dibandingkan dengan daerah lain di Nusantara memiliki keunikan tersendiri, dimana Garut dijuluki Swiss Van Java.
“Julukan Swiss Van Java ini bukan tanpa tujuan namun merupakan sebuah promosi Belanda kepada para pemilik modal untuk berinventasi penanaman teh di Garut,” ungkapnya.
Maka kemudian, lanjut Kang Aom, dibangunlah jalur kereta api Garut-Cikajang dimana stasiun Cikajang dibangun di atas 1200 meter di atas permukaan laut, dan menjadi stasiun tertinggi kedua di dunia setelah stasiun Jungfraujoch, yang terletak di ketinggian 3.454 meter di atas permukaan laut di Pegunungan Alpen Swiss.
“Dari sinilah kemudian Garut dijuluki Swiss Van Java, sebagai sebuah promosi karena memiliki stasiun kereta api yang berada di ketinggian, sama seperti stasiun yang di Swiss,” tuturnya.
Baca juga : Lika-Liku Jalur Kereta Api Garut-Cikajang, Dari Pembangunan Sampai Rencana Reaktivasi
Baca juga : Telaah Tertukarnya Kisah Prabu Kian Santang dan Rakeyan Sancang Bertemu Sayyidina Ali RA
Menurut Kang Aom, simposium ini digelar untuk menggali lebih dalam konteks historis perkembangan masuknya Islam ke Garut ini akan menjadi sebuah tesis besar.
“Jika Belanda dapat memberikan Garut julukan Swiss van Java, maka kita dapat merubah Garut menjadi Madinah van Java,” tandasnya.
Kang Aom menegaskan, penertian Madinah ini jangan sempit, jangan politis dan jangan terpopularisasi.
“Madinah dalam pengertian Eropa “civil socity”, ICMI dari dulu sudah menyebutnya masyarakat madani, sementara urang sunda mengenalnya dengan sebutan “dayeuh luhur” atau “kabuyutan agung” yang artinya masyarakat yang berperadaban tinggi,” tegasnya.
Munculnya dasar pemikiran Garut merupakan Madinah van Java, imbuh Kang Aom, bukan tidak ada relevansinya, namun ada dasar yang kemudian nanti akan disampaikan oleh para narasumber yaitu Ki Maher dan Dedi Effendi.
“Nanti akan dikemukan dalam simposium naratas awal Islam ka Garut ini bahwa asal muasal masuknya Islam di Nusantara itu di Garut, dan tentunya hal itu akan dibedah dalam simposium ini tentang sosok Rakeyan Sancang yang pernah bertemu dan membantu Sayidina Ali, itulah dasar Garut dapat disebut Madinah van Java,” pungkasnya.***Raesha













